Tentang
peran diri dalam sebuah relasi.
Tentang
beberapa hal yang terasa janggal, namun diam-diam diamini. Tentang adat yang
terasa menyekat dan berat namun terus melekat. Tentang banyak kesalahpahaman
yang kadang perlu penjelasan panjang namun seakan tak ada yang mau
mendengarkan. Tentang kendali diri dan kembali pada diri. Untuk bersiap dan
bersikap sekaligus.
Seperti
kebetulan yang terencana, beruntun beberapa hal agak mengajak diam. Barangkali
tidak perlu diobrolkan karena memang demikian adanya. Tapi melihat sesuatu yang
kecil daripada berkutat tentang banyak hal yang besar kadang lebih
menyenangkan. Seperti kolase yang dari kejauhan membentuk gambar jelas,
ketimbang dilihat dari dekat. Kita akan pahami maknanya setelah mengupumpulkan
yang kecil, menyatukannya, dan kemudian menarik garis makna dari tiap
kepingnya.
***
Pagi tadi,
ada satu re-tweet menarik sekali.
Ini dia: “wadon
sempurna kuwe ora matre, ora manja, ora seneng belanja, ora ana” (perempuan
sempurna itu tidak matre, tidak manja, tidak senang belanja, tidak ada).
Saya retweet
balik. Ada saya dan satu teman perempuan lain. Lalu, si pe-retweet pertama,
yang notabene adalah seorang kawan laki-laki, me-mention kami, sederhana saja,
“uhuk…”, menggoda. Ah, iya, tentu saja ini hanya sebatas tweet-tweet biasa,
sebagaimana kami juga saling mengenal baik dan biasa bercanda.
Tapi
sebentar, karena saya membalas twit tadi dengan kalimat ini: “makanya perempuan
itu g sempurna sebelum disempurnakan laki-laki njul... :)))))))”. Kalimat ini
bisa menjadi sangat multi-makna. Selain memang dalam sistem kita, laki-laki itu
ya pasangannya perempuan. Oke, kecuali mereka yang memilih korelasi hubungan
sejenis.
Dalam
konteks tadi, kata “sempurna” itu merujuk pada seorang perempuan yang tidak
matre, tidak manja, dan tidak senang belanja. Tapi dalam pikiran saya, maka
tugas laki-lakilah menyempurnakan seorang perempuan: untuk memberikannya
kebutuhan materi, memanjakan, dan terimalah bahwa perempuan sepertinya memang
selalu suka belanja.
Sementara
twit pertama yang saya tidak tahu, si admin itu perempuan atau laki-laki (tapi
sepertinya laki-laki), mengajak keberatan. Seakan-akan, dia menginkan gambaran
perempuan seperti itu, tapi ternyata, tidak ada.
---
Ah, jadi
untuk apa menggugat yang memang sudah ditahu. Bukan dalam hal negatif yah.
Saya kira,
kenapa perempuan senang belanja, itu karena memang naluriah karena harus
terbiasa memilih yang terbaik. Makanya, biasanya, pengurus pasti menempati
posisi “yang harus berbelanja memenuhi barang-barang kebutuhan”. Dalam beberapa
hal, perempuan tahu mana yang lebih baik dan sesuai kebtuhan.
Tentang
relasi antara perempuan dan laki-laki yang agak kejam adalah sebenarnya.
Apalagi teringat cerita salah satu teman yang masih dalam garis keturunan orang
asli Bali. Tentang adat setempat yang menempatkanperempuan dalam posisi lemah,
sementara laki-laki menjadi seakan bebas tanggungjawab. Seakan terbolak-balik,
di sini, laki-laki tak lagi menjadi pelindung yang lahir secara alami.
Apakah saya
membela-bela perempuan, tentu saja, saya perempuan. Tapi saya tentu bukan ahli
dalam hal feminisme, saya tidak sekeren itu, tentu saja. Tapi pada akhirnya,
saya percaya tiap orang punya hak atas dirinya sendiri. Untuk menentukan sikap
dan berbuat.
Terlepas
anggapan wajar dan apa adanya, kadang memang ada perempuan yang sangat minus,
begitupun laki-laki amat minus. Bahkan dalam diri, kita tetaplah seperti
baterai dengan dua kutub, negatif dan positif. Nah, inilah pada akhirnya
kekuatan kita untuk menentukan peran diri dalam sebuah relasi.
Saya
perempuan macam apa sih? Apa yang harus dilakukan dalam kondisi tertentu. Meski
kadang tak selamanya dianggap baiiiik oleh semua. Kita punya kendali diri.
Apalagi jika ternyata kita masih hidup dalam lingkaran dengan adat-kebiasaan
yang begitu kuat, sementara di sisi lain kita telah menceburkan diri sebagai
masyarakat dunia yang (merasa) bebas, dilematis sana-sini.
Bahkan
kadang saya takut bicara karena bisa saja saya malah pada satu saat nanti,
dengan kebutuhan tertentu, justru harus melakukan sesuatu yang sebelumnya saya
anggap keliru.
Tentu saja
kita tidak ada yang sempurna.
Tapi
bukankah kita selalu punya kesempatan untuk memperbaiki.
Diri.
No comments:
Post a Comment