Showing posts with label Intan Ayu Nugraheni. Show all posts
Showing posts with label Intan Ayu Nugraheni. Show all posts

Wednesday, July 27, 2011

...she vs she


Dua sahabat baik saya (sangat baik), berbeda pendapat tentang cinta. Ya. Cinta. Kata yang kadang-kadang kita bicarakan kalau sudah ‘galau’. Ya. Galau. Mencoba mengikuti tren perasaan yang kacau.

Satu diantaranya berbicara tentang, “Cinta itu adalah tentang kembali kepada Tuhan.” Intan bercerita, dia menemukan sebuah note menarik tentang itu semua. Intinya, ketika kita mencintai sesorang dan nyatanya kita tidak cukup yakin, maka Tuhan menjadi tempat di mana kita kembali untuk belajar mencintai dengan lebih bijak. Karena pada dasarnya segala sesuatu adalah tentang kembali meminta pentunjuk pada Tuhan. Saya setuju.

Satu lagi, Vicky, dia bicara tentang, “Bagaimana orang akan tahu ada orang yang menyukainya atau jatuh cinta padanya, tanpa orang tersebut memberitahukannya?” Diam bukanlah jawaban. Seseorang harus berusaha melakukan sesuatu. Menunjukan adalah sebuah keharusan. Terlebih lagi dengan mengungkapkan dan membicarakan serta mempertanggungjawabkannya dengan dewasa. Itu lebih dari harus. Dan saya juga setuju.

Saya kira Intan bukanlah orang yang sangat religius. Ya, kami beragama. Tapi bukan termasuk orang yang dalam setiap kesempatan berbicara tentang ke-Tuhanan. Makanya saya benar-benar mendengarkan ketika dia bicara tentang Tuhan itu. Mengingat beberapa hari sebelumnya, saya krisik-krisik dengan teman saya yang lain, Nindya, tentang berdoa sama Tuhan buat ditunjukin, “Is he for me God? Jika iya, beri saya keyakinan. Jika bukan, beri saya keyakinan.” Aih, entahlah. Rasanya lebih bijak dan tenang ketika berdoa pada Tuhan dan keesokan paginya kita menjadi semakin yakin dengan sesuatu hal. Kita pasti akan teriak girang sambil berucap, “What a life! That’s great as mine :).

Di dalam tentang kembali ke Tuhan, saya suka bagian ini: “Mencintailah dengan diam. Berbahagialah ketika dia menjadi milikmu. Ikhlas ketika dia tidak menjadi milikmu. Tuhan yang menunjukan.” (sebenarnya kalimat Intan bukan ini, tapi saya lupa, tapi, intinya ini, ada bagian ‘diam’, ‘bahagia’, dan ‘ikhlas’-nya). Damn! Saya suka sekali. Saya kira cinta disini menjadi lebih luas. Cinta sama baju. Cinta sama buku. Cinta saya boot. Cinta sama cowok kostan depan. Semuanya ada bagian-bagiannya sendiri.

Kemudian Vicky mempertanyakan tentang hubungan saya dengan seseorang. Saya bisa jawab dengan lancar. Lancar dan tenang sekali. Tidak seperti bulan kemarin. Yang saya malah marah-marah dan nangis-nangis kalau ngomongin ini. Saya nggak punya pacar (atau apalah istilahnya). Saya memang suka sama seseorang (mungkin Afgan). Terus dia tahu, siapa orangnya. Dan kemudian dia bertanya, “Di, kenapa kamu nggak bilang? Kalian itu kan udah kenal lama, dekat lama, ngobrol enak?”. “Terus kalau abis ngomong gimana?”, tanya saya. Kata dia lagi, “Kalau dia suka sama kamu juga, kalian bisa ‘you know?’, kalau tidak, dia akan tahu kamu suka sama dia selama ini. Setidaknya kamu menunjukannya. Aku tahu kamu bisa dan akan menanganinya dengan bijak.” Ya. Dia juga benar. Dia adalah salah satu orang yang tahu banget siapa saya. Dia adalah orang yang tahu sekali, sejauh mana saya akan kuat dalam segala masalah. Untuk itu, dia mendukung saya. “Aku tu yo pengen lihat kamu punya pacar.” Aih, jreng-jreng-jreng. Mringis. Mringis. Mringis. (Jadi spertinya saya harus ganti pembersih muka dengan Ponds biar cepet ketemu Afgan).

Setalah saya pikir-pikir. Wajar si mereka punya cara pandang berbeda tentang cinta dan saya. Intan, iyalah, jelas, dia adalah orang yang masih sangat-sangat-sangat menikmati tentang tidak punya pacar. Sedangkan Vicky, dia sudah menemukan ‘Dad’-nya, yang emang, saya kasih nilai A+ buat hubungan mereka yang sangat positif itu. Wajar aja kalau mereka mempunyai pandangan berbeda. Tapi ada satu hal yang menyamakan mereka, yaitu mereka peduli sama saya. Kita saling peduli, dan yang menyatukan kita, (walaupun secara emosional, Intan dan Vicky itu nggak dekat), we care about us. Kita sayang diri kita dan maka kita menjadi sayang satu sama lain.

Dan karena saya nggak punya advice tentang cinta yang cukup oke, maka semuanya saya rangkum menjadi, “Saya percaya Tuhan punya hak penuh atas kehidupan kita, termasuk cinta. Dan ketika Tuhan punya rencana, Dia akan lebih meyakinkan kita tentang menunjukan cinta dan memberi kita sesuatu yang kita inginkan.”

Mau ngomong kek. Nunggu kek. Nungging kek. Kalau Tuhan belum kasih jalan, tetep aja bakal nggak bisa. Makanya Tuhan ada buat ngeyakinin kita. And, honestly, God not yet give me sign.

Kecuali bahwa ada kepercayaan bahwa lagu “Dia. Dia. Dia”-nya Afgan emang buat saya. Saya seorang.

Monday, June 20, 2011

…being single now.


“Zookeeper hear me out, how dare you go? Cold in the rain.” (The Zookeeper’s Boy-MEW)

Teman saya putus dengan pacarnya. Saya bertanya, “Kamu yakin, mau putus dengan pacarmu?”. “Kamu yakin, kamu tidak akan menyesal, meninggalkan orang yang kamu sayang?”. “Kamu yakin?”. Ternyata kita cuma butuh keyakinan. Dan meyakinkan orang.
Dan bagi dia. Berpisah, atau setidaknya, tidak terikat hubungan “berpacaran” atau “in a relationship with…” lagi, merupakan cara terbaik. Kesadaran bahwa, “He is, not Him”, menjadi alasan, ketika hubungan tidak lagi memiliki komunikasi yang lancar dan pada satu titik, sampailah pada kesadaran, sepertinya bukan dia, sepertinya sudah tidak ada lagi keinginan untuk bersama.
Lalu, sebenarnya apa yang mendasari ketika kita memilih seseorang, obrolan kami berlanjut. Pada dasarnya alasannya sama, kita suka, atau mungkin menemukan banyak kesamaan, dan pada akhirnya, memilih untuk berkomitmen bersama. Dan ketika rasa suka itu ternyata perlahan-lahan hilang, kesamaan-kesamaan tidak lagi cukup menjadi alasan untuk tertap bersama, dan pada akhirnya, “relationship” menjadi beban tersendiri. Ya beban harus perhatian lah, ya beban untuk menjaga agar hubungan tetap harmonis, ya beban untuk lebih mengerti dan memahami, ya beban untuk menjaga diri kita sendiri dari hal-hal yang tidak mengenakan. Sayangnya, seringkali ada ketidakseimbangan antara dua orang dalam hubungan itu, agar menjaganya tetap stabil di titik yang seimbang.
Bagi saya sendiri, sebuah relationship adalah tanggungjawab. Meskipun itu bukan sesuatu yang dideklarasikan secara resmi sehingga akan ada perayaan bulanan atau tahunan. Karena beberapa teman ternyata memilih untuk tidak memiliki keterikatan semacam itu. Yah, barangkali mereka akan melakukannya dalam satu lembaga yang lebih berkualitas, ketimbang pacaran gaya anak ABG. Tapi, di sisi lain, relationship yang mengerti peran masing-masing akan lebih berkualitas, ketimbang “no relationship, but loving each other” itu. Setidaknya kita tahu harus bersikap apa dan sadar diri atas sikap-sikap itu. Di situlah letak tanggungjawabnya. Jadi, ketika memilih untuk berpisah atau membentuk hubungan yang entah seperti apa dalam bayangan masing-masing pribadi, tanggungjawab itu mutlak diperlukan. Termasuk ketika memilih berpisah.
Ketika saya beranjak meninggalkan teman saya setelah percakapan yang cukup panjang. Tidak hanya tentang dia, tapi juga tentang saya. Kami berpandangan dan saya bertanya, “Apa yang akan kamu lakukan jika dia (mantan pacarnya) memilih untuk tidak menerima kalian berpisah?”. Dan dia bilang, “Ya. Itulah letak kesulitan terbesarnya. Meyakinkan dia bahwa berpisah lebih baik dengan bermacam alasanku. Karena, sepertinya dia masih belum bisa menerima alasannya. Dan membuat aku galau dengan alasan-alasannya lagi,” jawabnya. Bukankah seringkali terjadi demikian?
“Apalagi dengan jawaban, ‘aku akan bahagia, yang penting kamu bahagia’,” lanjutnya. Kami sepakat, kalimat macam itu adalah kalimat klise yang menjengkelkan. Bagi saya, itu merupakan semacam alasan bodoh dan tidak masuk akal. Semacam ingin berteriak, “Lebih baik kamu marah sama saya. Dan dua tahun lagi kita baikan dan berteman.” Yah, sedikit sarkas dan tidak fair.
Tentang being single now, apalagi selain alasan bahwa kita bisa memiliki ruang selebar-lebarnya untuk sesuatu yang lebih bermanfaat, setidaknya bagi diri kita dan kemudian orang lain. Walaupun dalam beberapa hal, berangkali kata “galau” sering menjadi guyonan beberapa teman single, dan baiklah, saya juga tentunya. Tapi, pernah kepikiran nggak si, bahwa di ruang yang lebar itulah seharusnya kita memperbaiki kualitas diri dan mulai fokus pada hal-hal yang kita inginkan. Termasuk mengakhiri single itu tadi barangkali. Karena, percalah, menjadi diri sendiri membutuhkan lebih banyak tanggungjawab.
If, being in a relationship is about being take a responsibility, being single si about take more responsibility. Dan, (kembali) akan ada dua perempuan menyedihkan yang main game hingga pukul tiga pagi lagi… Make sure for everything you take sista’J
How dare we go, cold in the rain. That’s the risk and the responsibility… []