Tuesday, August 28, 2012

...kugy?




Hidup, tentu saja, tidak hanya sepanjang putaran pita film selama kurang lebih dua jam. Juga, tentu saja, tidak hanya setebal seribu sekian halaman novel. Kecuali saya adalah Sitti Nurbaya dan yang mengatur hidup saya adalah seorang Marah Rusli.

Tapi, bisa jadi, setengah dari 110 menit adalah tentang apa yang pernah dan tengah terjadi pada hidup kita. Karena kadang, dua belas halaman deskripsi tentang kebiasaan tak terlalu peduli dengan menyisir rambut dan pilihan pakaian di sebuah cerita adalah kebiasaan yang kita lakukan setiap hari. Bahkan mungkin satu scene yang hanya lima belas detik adalah apa yang pernah benar-benar kita lakukan. Memandang matahari terbenam di antara dentuman ombak itu adalah frame-frame masa lampau yang tak bisa kita lupakan, sementara hampir tiap film menyelipkannya. Entah dengan sepasang kekasih yang berbahagia, pelukis yang menemukan pemandangan terbaiknya, atau bahkan seorang patah hati yang tengah bersyukur, bahwa dunia masih tetap saja indah meski kisah cintanya hancur. 

Tak heran, jika saya menangis bahagia ketika Jeny Mellor diterima di Oxford pasca kekacaun hidupnya, masalah di sekolahnya dan dengan mantan kekasihnya dalam “An Education”. Mungkin karena saya pernah mengalami apa yang dia alami pada rentang usia yang hampir sama dengan kompleksitas yang sama, aih, apapunlah namanya. Namun, tentu saja, saya bukanlah seorang Jeny Mellor. Karena saya terus hidup dan harus menerima kekacaun-kekacuan selanjutnya. Sementara kisah Jeny selesai ketika dia mulai kuliah di Oxford.

Tapi selalu ada alasan untuk merasa mirip dengan tiap karakter yang lahir dari sebuah cerita. Bahkan orang lain menyadarinya terlebih dulu.

Atau mungkin kita terkejut. Karena jalan hidup kita, nyaris seperti pada sebuah cerita.

Tentu saja penulis bukan tuhan bagi pembacanya. Tentu saja setiap orang punya tujuan untuk digapai yang datangnya entah dari mana. Tentu saja ada kebetulan yang seringkali menyadarkan. Dan, lagi, tentu saja, setiap orang punya hak untuk mempercayai tiap kebetulan yang kebetulan muncul lalu menduga-duga cerita selanjutnya.

***

Waktu itu sekitar tahun, saya lupa. Mungkin saya tingkat dua, sekitar tahun 2009? Dee, salah satu penulis yang suka, oke, saya suka sekali diaaa, setelah “Filosofi Kopi” dan “Rectoverso” yang membuat saya versi delapan belas tahun kemudian merasa bijak seperti perempuan empat puluh tahun yang sudah khatam pahit-manis kehidupan, menerbitkan buku terbarunya. “Perahu Kertas”. Oke, mungkin saya salah (tapi kayaknya itu urutan baca buku Dee versi saya). Selesai membaca, kok gini?

Dee sedang bercerita tentang seorang remaja yang tumbuh menjadi dewasa. Meski, entah kenapa, bagi saya itu karya terburuk Dee. Meski saya tidak akan menarik kalimat sebelumnya, ternyata “Perahu Kertas” mengantarkan saya menuju masa dewasa saya. Lulus SMA. Kuliah. Bersahabat. Jatuh cinta. Memilih. Patah hati. Cepat-cepat lulus kuliah karena merasa masih banyak hal lain menunggu. Bekerja. Mencari jati diri. Membangun mimpi. Realistis. Berkorban. Dan terus tertawa.

Lalu saya menonton filmnya. Membaca kembali bukunya.

Dan menyadari bahwa, tak hanya satu orang, dua orang, setidaknya beberapa kawan terdekat bilang: Kugy, karakter perempuan di “Perahu Kertas”, itu kayak saya. Seperti si Rani menulis di twitternya: “Si "Kugi" Perahu Kertas ni klo diliat krkter+style nya mirip @fuadiyah ;p”

Apakah saya ke-ge-eran? Tentu. Di film “Perahu Kertas” garapan Hanung Bramantyo, Kugy ini diperankan dengan apik oleh Maudy Ayunda, salah satu aktris pendatang baru yang cantik dan aktingnya perlu diperhitungkan di masa-masa mendatang asal dia tidak coba-coba main sinetron.

Lalu saya sadar, dia tidak sedang bicara tentang kecantikan dan kemiripan muka. Karena kalau itu adalah tentang Kugy yang tak terlalu peduli meski rambutnya acak-acakan dan yang makannya dibilang banyak seperti baru saja narik becak, atau selalu tidak peduli dengan padu-padan warna baju dan tidak bisa membedakan mana baju tidur dan mana baju untuk kuliah, mungkin benar Kugy mirip saya. 

Rani, bukan orang pertama yang bilang. Kakak kost saya Teh Risma, Kang Rizwan yang dulu bukunya saya pinjam, dan Shinta yang barusan barengan lihat filmnya. Dan, saya sendiri sebenarnya sempat merasa. Sebenarnya itu hiburan bagi saya, karena berarti ada banyak orang di luar sana yang tidak terlalu peduli dengan masalah baju!

Tapi jika ternyata, saya senang membuat cerita-cerita yang hanya adik saya yang berusia tujuh tahun yang akan tertarik mendengarnya, tergila-gila dengan mahasiswa DKV yang pintar gambar, atau pintar motret, syukur-syukur jago nglukis pakai kuas dan cat air. Jangan-jangan saya terpengaruh gangguan Neptunian atau semacamnya yang ditularkan karakter Kugy. Bahkan, selepas lulus kuliah, saya ternyata juga harus bekerja sebagai copy writer. Jalan tengah antara mimpi saya menjadi pemimpin redaksi Femin* dan keinginan sebagai jurnalis yang tak direstui. Jalan tengah yang dipertimbangkan dengan matang, setelah melewati waktu yang tak pendek untuk mengatakan bahwa, “saya jatuh cinta dengan advertising” pasca tugas kuliah periklanan. Sampai akhirnya beritikad baik untuk memilih jalan ini, jalan pelan-pelan, dan mungkin akan menyetop angkot atau taxi kalau sedikit capek nanti.

Yah, tidak ada Keenan dalam hidup saya. Kecuali seorang mantan pacar yang jago gambar, tapi dia seorang illustrator, dan bukan pelukis. Dan, tidak ada kisah cinta yang cukup manis seperti Kugy dan Keenan-nya. Saya juga tentu tidak berharap akan saling jatuh cinta dengan bos saya, seperti Kugy dan Remy. Belum pernah secara khusus berkeinginan punya kekasih seorang pelukis, meski saya akui, pelukis itu keren. Malah saya pernahnya berkeinginan untuk memiliki kekasih seorang penulis, karena akhirnya pernah kesampean, sekarang mungkin saya akan memikirkannya berkali-kali untuk pengen-pengenan masalah seperti itu.

Karena kadang seseorang yang senang menulis itu suka over-reacted, yah, nih saya contohnya. Dan dikirimi semacam puisi atau sejenisnya tiap hari, ternyata tidak terlalu menyenangkan. Apalagi jika mereka terlelau sensitif menanggapi sesuatu, bisa jadi kita lama-lama akan kehilangan respect terhadap kepandaian mereka. Karena, mengikuti kata teman saya, “Karakter seseorang tidak selalu mirip dengan apa yang ditulisnya, make sure, kita suka tulisan dan pemikirannya, atau orangnya.” Yah. Noted. (Ini adalah contoh paragraf over-reacted yang disengaja)

Jika “Perahu Kertas” mengajak saya menyelami kisah romantis Kugy dan Keenan yang cukup berliku dan bagaimana mereka tumbuh, mengambil tanggungjawab-tanggungjawab yang tidak pernah kita duga sebelumnya. Mengikuti perjuangan keduanya mewujudkan mimpi yang bagi banyak diantara kita dianggap tidak realistis. Dan berani memilih diantara banyaknya pilihan-pilihan yang sulit. Kemudian filmnya mengajak saya menikmati gambar-gambar cantik, yang meskipun editingnya terasa terlalu melompat-lompat, tapi sepertinya setiap sutradara memang harus mencoba resep-resep Woody Allen dalam menata gambarnya, dan Hanung cukup berhasil menyajikan komposisi indah yang nyaman dipandang mata dan yah, ketajaman yang pas khas kamera HD. 

Setiap orang tentu punya cerita cintanya sendiri-sendiri. Tanggungjawab yang harus ditanggung sendiri-sendiri. Dan mimpi-mimpi yang harus diraih.

Meski saya secara keseluruhan sebenarnya tidak terlalu mirip Kugy, tapi tentang mencintai hidup.

Saya yang saat itu berusia sekitar delapan belas tahunan, sepertinya belajar banyak pada Kugy. Dan saya setuju dengan Kugy, melihat tawa seorang anak kecil itu adalah surga. Apalagi jika kita yang membuat mereka tertawa, maka kitalah malaikatnya. Ah, apalagi sekiranya yang lebih agung dari manusia, selain malaikat?

Adik saya, Lulu, dia sudah cukup mulai menuliskan ceritanya sendiri. Tentang peri, tentang nenek (yang dia anggap sebagai eyang kami yang sudah meninggal), tentang persahabatan dengan kawan-kawannya di sekolah, bahkan dia mencoba menuliskan lagi cerita di film “Hugo”-nya Martin Scorsese yang kita tonton bersama. Sepertinya saya akan malu, amat sangat malu, jika saya tidak menyelesaikan kisah “Alefo si Pangeran Semut” dari Negeri Barobaro, kisah “Neina” dan gaun pernikahan mamanya.

Atau mungkin, sama seperti tiap orang yang tercebur ke dunia iklan, seperti Kugy yang memandangi piala-piala Citra Pariwara yang digantung berjejer, pastinya saya bermimpi jika suatu hari nanti saya juga memenangkannya. Cannes Lion kalau perlu. 

Ah, sudahlah. Enaknya bermimpi.

Kugy tidak seperti saya, Dee muda pasti menemukannya di satu ladang imajinasinya yang dingin dan segar. Saya sempat curiga, mungkin karakter Keenan adalah karakter cowok idaman Dee muda. Hhhi, but hei, who doesn’t love the high-cute-messy-but artsy boy named Keenan? 

Saya juga tidak seperti Kugy.

Saya akan menuliskan cerita saya sendiri. Bukan di sebuah perahu kertas yang menemui neptunus di samudra luas. Mungkin di potongan slip atm dan belanja yang akan saya tunjukan pada dewa uang, sambil memohon agar kelak saya dibekali kemampuan menabung dan mengatur uang di pasar saham.

Ah, sudahlah.

Intinya, entah kenapa, saya ingin berterimakasih pada Dee.

Meski saya mencintai “Rico de Coro”, dan agak tidak berani membunuh kecoa dengan memukulnya, tapi lebih memilih untuk menyemprotnya, nyatanya saya belum pernah menuliskannya. Meski saya sangat prihatin dengan kematian Hera yang “Mencari Herman”, nyatanya saya tidak ingin seperti dia. Meski saya setuju dengan gunanya “Spasi”, saya pun hanya sekali menyebutkannya di catatan saya bahwa itu adalah satu di antara puisi yang saya suka sekali. Atau mungkin juga tentang “Surat yang tak pernah sampai”, yang akhirnya saya kirim kepada yang berhak mendapatkannya. Saya yang ternyata tetap tidak jodoh dengan kopi, meski membayangkan itu adalah Kopi Tiwus yang Ben racik di kedai “Filosofi Kopi”. Dan apakah saya pernah bilang bahwa saya membacakan “Lilin Merah” di perayaan tujuh belas tahun majalah di kampus saya?

Saya bilang “Perahu Kertas” adalah karya Dee yang paling tidak bagus diantara karya-karyanya yang lain yang saya anggap bagus. Tapi ternyata, Kugy itu yang paling nyata. Kugy yang paling manusia. Seperti saya. Seperti ribuan perempuan lain, yang ketika membaca bukunya atau menonton filmnya, di dalam hatinya diam-diam dia berucap: iya, bener, kita agak mirip.

Terimakasih Dee, ternyata Kugy juga ujian skripsi.




*ah, nikmatnya nulis dengan kesombongan tingkat dewa.

2 comments:

  1. jujur, saya tidak tahu kenapa kok tiba2 Perahu Kertas bisa se-booming ini sekarang?? hehe

    namun, saya suka di bagian akhir tulisan ini, yang menyatakan bahwa ini adalah karya Dee yg paling tidak bagus, tp Kugy yg paling nyata..

    terkadang, memang karya yang nyata itu terkesan kurang bagus ketimbang yang penuh imaji (atau angan2) dan sebagainya.. karena angan2 itu selalu nampak indah dimanapun berada; bahkan di dalam film sekalipun..

    ReplyDelete
    Replies
    1. iya mas, kugy yg paling manusiaaa. dia cuma jatuh cinta aja... :)

      tapi mungkin, yg udah baca dee dari supernova sampai kumpulan ceritanya bakal terkaget2 dengan Perahu Kertas. tapi tetep kok, kalau disandingkan dengan teenlit lainnya, perahu kertas ttp juara. semangat tokoh2nya di dunia kreatif begitu besar... :D

      oia, ttg filmnya, kalau beberapa waktu ini kisah cinta film-film thailand cukup menarik hati atau sudah bosan dg kisah cinta islami yg terasa kelihatan selalu sempurna, perahu kertas juga mencuri hati. sayangnya ada dua episode aja, jadi ada yg g biasa. hhhi,

      udah nonton mas pond?

      Delete