What a work?!
Sebelumnya, kalau boleh saya bercita-cita dan
berkeinginan, gambaran pekerjaan (atau apapunlah istilahnya, dimana saya
mendapatkan uang untuk hidup dan melakukan hal-hal lainnya serta bisa lebih
berkembang di situ) yang saya inginkan adalah: saya bisa menabung dari
hasilnya, saya nggak perlu pakai make-up
yang terstandarisasi, saya enggak perlu diharuskan memakai rok pendek dan high-heels lebih dari tiga cm setiap
hari, boleh pakai kaos dan baju longgar sesuka saya, boleh mengucir kuda rambut
saya, boleh pakai celana jeans, ketemu orang-orang yang bisa becanda dan serius
dalam waktu yang tepat sekaligus menerapkan sistem belajar bersama. Dan yang
pasti, saya memang mampu mengerjakan pekerjaan itu.
Kurang lebih seperti itu.
Agak tidak rasional. Biarin. Kalau orang lain
mungkin mematok besaran gaji atau apa. Saya yang baru lulus dan sadar tidak
begitu pintar, hanya berfikiran bahwa yang penting saya bisa hidup dan sebisa
mungkin harus bisa nabung. Mengenai hal lainnya, sebenarnya itu hanya teknis.
Tapi kalau saya harus ber-make up
tabal dan ber-high-heels, saya belum
siap akan semua hal indah itu. Saya harus bangun jam berapa untuk dandan?
Apakah saya bisa bangun pagi? Apakah saya kuat lari mengejar kopaja dengan
mengenakan high-heels? Sebenarnya
masalahnya itu.
Lalu, berkat rahmat Tuhan Yang Maha Esa dan
didorong keinginan luhur untuk punya MacBook sendiri pasca laptop yang suka
nge-hang ini, akhirnya saya resmi punya kerjaan yang tercatat dalam selembar
kertas dengan kop surat berkepala burung pemangsa daging. Alurnya, tentu saja
panjang. Dengan bantuan banyak teman, honorable
mentions to: Mamad, aka Ahmad Arif Billah, desainer grafis semasa di LPM Kentingan yang membantu saya
memvisualisasikan tes pertama bikin brand
image produk cola ajaib rekayasa orang yang kemudian menjadi head on-air saya di kemudian hari. Mana
ada cola isotonik rasa teh, dengan merek Coba Cola, cobaaaaa? Tolong bayangkan
rasanya. Tapi bersama Mamad, dunia terasa lengkap. Sesiang-sesorean Mamad
membantu saya membuat logo imut-imut dengan warna hijau dan kuning kecokelatan
yang anggun. “Pokmen aku pengen sing imut
mad… seger ning ijih ketok kolane. Warnane ijo, kekuning-kuningan. Bentukane
ngene mad…,” ujar saya pada Mamad, memberikan oret-oretan najis saya. “Terus Mad, iklane ki ono kaleng mbukak metu
percik-percikan seger ngunu Mad… ngene iki Mad…”. Dengan semangat ‘teman
baru segarkan harimu’, sore itu juga kami menyelesaikan gambar-gambar unik itu
sebelum saya kirim sepuluh menitan melebihi deadline
yang ditentukan. Iyaaa, saya nggak bisa coloring
dengan halussssss!; Teh Imeh, yang berbaik hati memberikan petunjuk ‘lalu saya
harus ngapain dan ke mana setelah turun kereta di Jakarta?’. Menampung saya di
rumahnya di Bogor. Bersama Riska membeli pia apel di sekitar IPB dan
mengantarkan saya menunggu bus pulang kembali ke Solo untuk pindahan. Mungkin
saya tidur di stasiun kalau nggak ada dia; Sinta dan Amin yang sudah duluan
berkecimpung dan berkecipak dalam dunia media televisi Indonesia, berbaik hati
menemani saya sebelum dan setelah tes aneh itu. Dan tentu saja, ini teknis saya sampai aja.
Kalau secara keseluruhan, mungkin karena orang-orang yang sayang sama saya
mendoakan saya, atau semacamnya.
Singkat cerita, pasca keragu-raguan antara
sebenernya diterima beneran apa bohongan, saya ke Jakarta.
Saya pikir, setelah tinggal di Jakarta, saya
bisa kuat melek dari jam lima pagi sampai setidaknya jam dua belas malam.
Sehingga nggak perlualah itu lari-lari dan muka awut-awutan karena bangun
kesiangan. Apadaya, jarak kost ke you
name it tempat kerja itu lebih dekat dari jarak pondok kemuning ke gedung
III fisip uns. Jika sebelumnya saya harus melewati gang surya dua, gang surya
satu, jalan surya utama, menyebrang jalan ki hajar dewantara, memasuki gerbang
hukum, nyebrang di pertigaan hukum, lari di parkiran fisip, melewati jembatan
asmara, naik tangga ke lantai tiga, dan malu-malu masuk ruang 14 (jauh banget
ya, padahal cuma sekitar lima menit). Sekarang saya cuma perlu melewati jalan
kampung, keluar gerbang perumahan, melewati pos satpam, lobi tiga, lobi dua
setengah, masuk lobi dua, absen (sekitar empat setengah menit). Jadi saya tetep
nggak bisa bangun pagi.
Impian saya untuk pakai jins dan kaos juga
nggak kesampaian. Ya mungkin biar saya sekalian bisa mbedain, mana baju buat
kerja dan mana baju buat tidur kali yah. Mungkin ini efek positif yang saya
dapatkan.
Sebenarnya, masih banyak efek positif
lainnya…. Tapi saya ntar dibilang sombong. Kata sinetron Ramadan yang saya
tonton, sombong itu nggak baik.
Karena sebenarnya, saya malah jadi merasa
bego.
Berada di antara orang-orang yang (bagi saya)
senior, itu nggak mudah.
Saya, mikirin konsep bisa seminggu nggak
kelar. Mikiran konsep visual apalagi. Bisa rapat video seminggu berturut-turut.
Si Herka rambutnya jadi kribo, si Ajik suranya jadi cempreng, terus Pusa jadi
bedakan sampai lipstikan segala, bahkan si Sigit bisa jadian dan terus putus,
belum lagi si Maul mungkin udah capek ceramah tentang Islam di Lebanon. Belum
lagi si Dini bisa ganti pacar dua kali, si Lele sampe jadian sama Herka, Amal
langsung jadi dosen, sampe Maya beres nari Matah Ati, si Rani motret sepuluh
kawinan, Hafinya akhirnya nikah sama mas Agus, Ratna kucingnya nglahirin
sepuluh kali, si Vicky sampe bikin album piano segala. Itu konsep baru ketemu
kali. Terus kita berangkat ke Magelang.
Di sini, ide-ide kayak keluar dari AC terus
ditangkep gitu aja. Slap, slap, slap!!! Tiba-tiba mereka bisa bicata tentang,
politik itu bisa jadi masalah di tangan yang salah dan mengasosiasikannya
dengan pistol!!!! Mereka ingin mengingatkan para calon gubernur Jakarta, bahwa
Jakarta itu bukan mainan menjadi terasa begitu asyik dengan menggunakan lego
dan anak-anak kecil yang lucu berpose kayak calon gubernur.
Lalu saya harus bagaimana? Apa saya perlu
memanjangkan rambut saya lagi?
Kenapa otak saya cuma nyandak ke: bikin
pantun buat humor lebaranan. Kemajuan saya cuma sekedar berkurangnya abang
presenter talk show dewa yang kribo
itu kasih saya tanda menyilang besar. Dan bikin iklan radio cuma revisi tiga
kali!!!!
What a work,
then?
Learning. In
my opinion.
Saya nggak bisa ngandelin Mamad lagi. Saya
nggak boleh nunggu-nunggu Maul usul ide, sebelum berani kasih ide lainnya. Dan,
saya nggak boleh iya-iya aja kayak peserta rapat tema majalah kentingan ketika
udah mulai jam sepuluh malam padahal lagi bahas fokus utama.
Meski hampir sama, ternyata ini bukan tugas
kuliah yang udah, selesai di tangan dosen ketika dia memberi kita nilai B di
akhir semester, padahal kita udah mati-matian bikin tugas akhir. Dan kemudian
kita tahu bahwa dokumenter kita bukan kayak dokumenter yang sesungguhnya (di
mata dosen). Lalu apa? Kita pengen memperbaikinya, dengan menambahi sedikit VO
seperti halnya dokumenter klasik. Tapi semester delapan sudah selesai. Dan
nilai kita sudah tercatat B. Atau berpuas hati dapat nilai terbaik, tapi ketika
ditanyai adik kelas glagapan bukan karuan. Berhenti semesternya, berhenti
belajarnya.
Ternyata ini juga bukan tentang membuat
majalah kampus dengan sok idealis, kritis, tapi kebanyakan bermanis-manis.
Memenuhi check list ‘terlaksana’ di
laporan pertanggungjawaban tanpa ada pembelajaran yang lebih dalam. Satu hari
baca Marxisme, kemudian hari pegang Elle. Besoknya lagi bilang, kalau nggak ada
pabrik baju-baju mahal ini, para buruh itu nggak punya pekerjaan. Tapi nggak
bisa jawab, kenapa para buruh itu nggak bisa beli apa yang mereka sendiri buat?
Ada semacam proses untuk terus
belajar-belajar-belajar-dan belajar yang nggak ada hentinya. Yang entah dari
mana, mengajak saya terus melompat untuk tahu A, B, C, D dan seterusnya….
Mengajak saya untuk punya alasan untuk setiap pernyataan.
Nggak bisa lagi dengan pede: enak aja
dilihatnya. Asyik aja kebacanya.
Meski saya percaya, kadang ada keajaiban
kecil yang manis yang nggak perlu alasan.
Jadi, mungkin, kalau bekerja adalah
mendapatkan uang bla, bla, blaaaaa…. Itu iya. Tapi, itu aja nggak cukup buat
dijadiin alasan. Jika uang adalah alasan pertama, berarti saya butuh: belajar,
sebagai alasan kedua.
Saya sendiri nggak tahu, apa saya akan terus
berjalan di jalan yang sedang saya mulai sekarang. Terlalu banyak yang saya
inginkan.
*Apa kabar kawan-kawan baik saya?
subhanallah atun... aku baca tulisanmu dengan setengah iri.
ReplyDeletebikin aku bersemangat!!! :D :D
alinnnn.....
ReplyDeletehhhi, iya nih, masih semangat banget kerja sambil belajar. belum bosan, dan semoga enggak. ayok kamu jugaaa semangattt...
mungkin kita dapetin nggak sama persis yang kita inginin alin, tapi asal bisa belajar hal baru, sesuatu yang baru dan membuka mata? kenapa enggak.
;)
betul banget :D
ReplyDeleteahh ayok semangat!!!
*meniti tangga lagi*