Showing posts with label skripsi. Show all posts
Showing posts with label skripsi. Show all posts

Tuesday, January 3, 2012

...jurnal

When you get what you need, everything would be easier…

Ini adalah hasil dari online seharian demi mencari sebuah jurnal. Saya padahal udah online terus dari zaman kapan, tapi saya nggak dapet apa yang saya mau. Kalaupun cocok, ada aja yang bikin nggak cocok, tahun terbit misalnya…

Dengan berbagai strategi keyword, dan mengecek ke puluhan laman di google, demi cari jurnal gratisan, karena entah kenapa, password jurnal berbayar dari kampus kok nggak bisa saya pakai semua, akhirnya, saya menemukannya.

Rasanya, kayak…

Kayak apa yah?
Nggak ngerti deh. Pengen nulis aja. Mungkin ini juga berlaku ke banyak hal-hal lain. Semuanya bakal lebih mudah, kalau kita udah dapetin apa yang kita butuhin. Butuhin loh yah, bukan inginin atau coba-coba…

Wednesday, December 21, 2011

...really, ups... :)


“Ako kok malah nggak seneng i loh Atunaa, kalau kamu gituin…”

Ups. Saya waktu itu sempat bingung kenapa teman saya ngomong gitu waktu saya bilang, “Semangat yah, skripsinya…”

Ah, jleb. Jleb. Saya langsung minta maaf, dan melucu (tapi garing) di depan dia. Tiba-tiba saya jadi keinget diri saya sendiri, kalau ada yang menyemangati saya atau orang yang memberi saya targt-target tertentu ke saya, saya juga malah jadi sebal. Ehm, nggak semuanya. Dalam artian, kadang, saya mikir gini, “Ni orang ngapain deh, pake kasih-kasih saya target tertentu, tapi dianya cuma gitu doang nggak bantu saya, padahal dia tahu, saya kesulitan.”

Itu kali yah yang ada di pikiran teman saya kemarin.

Saya nggak berpretensi apa-apa atau menganggap bahwa dia sangat down hingga perlu disemangati sedemikian rupa. Enggak. Karena sesungguhnya, di sisi lain, ketika saya banyak ngobrol dengan orang, dan saya memberikan semangat, kadang saya sempet ngrasa, kalau itu juga cara saya buat menyemangati diri saya sendiri.

Entahlah.

Saya nggak ngerti. Beberapa kali saya coba ngobrol dengan teman sekelas atau seprodi saya, bahkan kakak tingkat, kok saya menemukan satu kesamaan, entah ini cuma anggapan negatif kita atau emang gitu adanya. Bahwa, nyelesein skripsi di jurusan kita kok rada sulit yah. Saya nggak bilang sulit, tapi juga nggak bilang ini mudah. Atau kalau mau rada sarkas, saya pengen bilang, atau kitanya aja yang bodoh?

Tapi seorang kakak kelas saya langsung bilang ke saya, “Bukan, banyak diantara kita itu bukan orang bodoh”. Iya sih, nggak, saya aja yang berlebihan. Teman-teman di sekitar saya bukan orang-orang bodoh deh. Justru mereka sangat luar biasa merespon banyak hal di sekitarnya. Tapi kadang, belum ada teori buat masalah dia. Gitu, gitu. Bahkan ada gitu, yang sampai dibilang, itu masalah skripsi kamu terlalu sulit untuk anak s1, ganti aja. Atau, itu masalah kamu bukan buat level s1. Jangan pakai mix theory dulu. Aduh, lah?? Nggak kayak saya yang cari aman buat masalahnya, tapi tetep njlimet. Karena kadang saya dikejutkan dengan hal-hal seperti ini: aduh, kalau masalah fesyen siapa yang ahli yah? Ah, teretetet. Moso aku pindah kuliah di esmod sik???

Lalu dia mencoba membuat list kenapa ini semua terasa begitu sulit. Pertama, bidang ilmu kita terlalu luaaaas. Menyebabkan kita kadang kebingungan sendiri ini kita mau ngapain (loh, berati ini kitanya dong???). Kedua, semua penelitian di bidang kita itu berhubungan dengan kehidupan sosial yang luas, kita harus banyak bahan untuk meneliti ini, jadi harus banyak baca, tapi kita masih jarang baca (berati, ini kitanya lagi doooong???!!). Nah, baru deh, ketiga, ehm, dosen kita, ehm, mereka belum semuanya terbuka pada hal-hal baru itu. Keempat, yah, kembali lagi dosen, apakah proporsi dosen pembimbing nggak bisa lebih mahasiswai lagi serta dosen yang harusnya nggak usah kebanyakan ke luar negeri atau dosen yang entahlaaaaaaah cuma terserah-terseraaah? Jadi nggak perlu ada satu dosen yang antrinya naudzubillah, ada satu dosen yang punya dua kotak (sudah dikoreksi dan belum) tapi nggak pernah diskusi, atau yang suka selalu berubah keinginan setiap konsul. Ya, walaupun tetap ada satu atau dua (hanya satu atau dua atau tiga) dosen yang luar biasa, mengajak diskusi, memberi contoh, memberi masukan, bahkan mencarikan jurnal, tapi yang paling penting itu diskusi itu sih kayaknya.

Embuh ah.

Yang pasti, sejak teman saya bilang di atas itu, saya jadi mikir, ya ampun. Semua ini nggak semenyedihkan itu, sampai kita harus tebar semangat di mana-mana. Kayaknya ini karena kita (atau tepatnya saya) yang terlalu mendramatisir deh. Tapi terus saya mikir lagi. Jurusan saya ajaib juga yah, udah mau masuk tahun kelima, yang udah lulus dan wisuda ya juga baru pas lima, eh, enam apa lima? Ya ampun. Dunia. Saya harus ngomong semangat lagi nggak nih?! Nggak ngerti deh. Semangat nggak yah, semangat nggak yah. Semangat nggak yaaaah????

*eh, ini cuma pendapat saya loh yah. Dan hasil ngobrooool sangaaat panjang sama kakak tingkat saya.  Akan berbeda efeknya buat tiap anak komunikasi, meskipun itu sekelas dan seangkatan sama saya. Apalagi anak komunikasi lainnya. Atau memang, sekali lagi, itu saya aja yang ngrasain. :)

Monday, December 5, 2011

... monday.


Pernah nggak, tiba-tiba ngrasa nggak berguna banget, padahal sejam sebelumnya kamu baik-baik saja?

Terus kamu bakal ngrasa bahwa, saya harus jadi orang kayak gimana lagi biar hidup saya rada-rada penting dan berguna? Padahal kamu udah berusaha, setidaknya, berusaha semampu yang kamu bisa.

Itu kali yah, salah satu, hardest or lowest part of our life.

Ketika beberapa hal yang sebenernya benar-benar berbeda jadi satu dam semakin membawa kamu jatuh. Taruhlah kita punya masalah A. Kita sedang menyelesaikannya. Ini masalah gede banget, maka masalah A punya beberapa submasalah, A1, A2, A3, dan A4. Oke, kita masih bisa tahan atau seenggaknya mencoba tahan dengan masalah itu. Kita nyelesein itu. Walaupun tetep ada A5, A6, A7, dan A8.

Eh, tiba-tiba, tiba-tiba nih yah, ada bagian hidup kamu yang lain, yang kamu rasa baik-baik saja atau justru malah akan mampu membantu kamu menghilangkan turunan-turunan A itu. Tiba-tiba melempar kamu dengan satu masalah baru, masalah B. Dan masalah B itu adalah masalah yang sebenernya kecil. Kecil banget. Tapi, masalah B itu adalah masalah yang kalau dibiarin aja, dia bakal menjadi monster yang bakal memakan kamu. Dia akan mempertanyakan penting-nggaknya hidup kamu. Dia akan menyeret kamu untuk menjadi sesuatu yang lain. Dia harus segera diselesaikan, karena, kalau enggak, pertanyaan-pertanyaan dari masalah B ini adalah penghambat buat kamu untuk nyelesein masalah A.

Padahal, sebenernya, sumber dari semua ketakutan-ketakutan itu ada di masalah A. Dan, masalah A ini yang harus kamu selesein. Karena masalah A ini begitu kompleks dan maka dari itu, masalah A-lah yang harus diselesin terlebih dahulu. Karena, bisa jadi, dengan selesainya masalah A, kamu bahkan lebih siap dengan masalah B, bahkan C, D, dan E juga. Tapi, kamu masih nggak bisa berfikir sehat kalau ada masalah B. Bagaimana cara lompat menuju masalah A kembali?

Tentu, pertama-tama,

Saya, duduk diam… dan mencoba mengerti ini ada apa. Ini saya kenapa.

Dua, saya butuh orang untuk bercerita. Jatuhkan pilihan pada orang yang setidaknya paling dekat secara emosional dengan kita yang akan mendengarkan kita, dan yang pasti, nggak akan menghakimi kita. Ibu barangkali. Atau pacar kamu barangkali, kalau dia mau angkat telpon kamu. Atau, sahabat dekat?

Ketiga, ternyata saya baru tahu masalahnya apa.

Keempat, saya nulis ini. Sesungguhnya ini cukup melegakan.

Kelima, saya bakalan… ra.ha.sia.

Keenam, I have deadline. Jangan sampai saya sakit. Jangan sampai saya sakit. Jangan sampai saya sakit.

Tuesday, November 22, 2011

...skripsi #2


Hai, kamu, puluhan halaman penuh huruf-huruf demi sebuah gelar, apa kabar?

Saya masih bersenang-senang dengan pensil kuning yang semakin memendek itu,
Mencorat-coret lembar lain, yang nanti akan saya tuliskan di halaman keseratus sekian,
Ternyata saya salah strategi menerapkan metodologi itu,
Jadilah, lima puluhan halaman kemarin akan saya ganti lagi...

Nanti, tapi nanti…
Ini belum selesai

Rasanya saya masih harus benar-benar meyakinkan diri, bahwa satu kalimat itu lebih cocok sebagai elemen detil daripada elemen latar…

Sabar yah, kamu, yang namanya skripsi.
Sebelum tahun depan semoga kamu sudah di penjilidan…

Melihat kamu tiap hari membuat hidup saya merasa nggak berguna. Ada baiknya kamu cepat dihilangkan dari salah satu folder di notebook bergambar doraemon itu...

Saya nggak terlalu heboh soal gelar si, saya juga nggak pengen wisuda sebenernya, abisnya harus pakai sanggul, dandan, dan pakai high heels kalau wisuda-wisudaan, tapi kayaknya saya tetep harus nyelesein kamu. Soalnya, kalau kamu udah beres, saya bisa loh, pakai surat kelulusan buat masukin lamaran ke salah satu agen iklan…

Gitu.

Ayok kita bekerja sama, seenggaknya, tolong deh, kamu dandan-dandan dikit gitu, biar saya nggak bosen kalau ketemu kamu. Biar saya nggak kegoda nonton serial korea kalau mau ketemu kamu. Biar saya nggak ngantuk dan pindah ke kasur kalau mulai ngobrol sama kamu.. Okai. Bisa kan? Kita bekerjasama kayak orang sahabatan, bisa kan? Oke. Bisa yah.

Tapi, ngomong-ngomong, kamu cewek apa cowok sih??


Monday, July 11, 2011

...skripsi


“Kita tuh, kuliah, main-main dibayarin orangtua. Ayok, cepet selesai.” Kata salah satu sahabat saya ketika kita makan berdua. 
 
Kita galau skripsi. Dia jugalah yang memberikan saya pemahaman tentang galau. Sebuah kata yang sedang ngetren. Hingga akhirnya saya paham apa itu galau, yaitu ketika kita sadar harus nglakuin apa, tapi nggak bisa. Semacam terhenti entah dimana.

Ini bukan tentang galau. Tapi tentang segeral selesai kuliah.

Iya. Saya setuju dengan teman saya itu. Kita bermain-main dan terus dibayarin. Giman nggak. Di tugas saya itu, kita seminggu di kota ini, ke kota ini, nggarap ini, kumpul di sini-di sana, hunting ini, riset itu, yang walaupun itu bagian dari kuliah. Tapi berasa piknik.

Bukan demi apa. Saya kira setiap orang punya terget pribadi masing-masing. Yah, kebetulan saja, kita berdua tergetnya bisa segera mengerjakan skripsi itu secepatnya. Walaupun kita sama-sama galau. Tahu harus ngapain, tapi nggak bisa. Tepatnya, semacam ada yang membuat kita sulit mengerjakannya…

Kita ngakak keras banter-banter. 

Jadi. Kata kita si,  “Ayok, cepet selesai!”