Demam tinggi dan lalu
pingsan menyadarkanku bahwa mengingatmu menjadi hal yang tak terlalu
sia-sia
Kau selalu bertanya
tentang lima tahun lagi kita akan seperti apa
Dulu kujawab, sarapan
bersama bayi kecil kita di minggu pagi
Atau menuju toko roti
kesukaan dan menunggu roti isi daging begitu keluar dari mesin pemanggang di
senja hari
Meski lima tahun
terlampau cepat, kupikir tak apa, jika harus menyelesaikan sisa hariku hingga
berpuluh-puluh tahun lagi bersamamu
Melakukan hal yang sama
dan tak akan pernah bosan
Ya, aku tak pernah
bosan mengulang hal yang sama bersamamu
Membagi setengah porsi
nasi padangku
Mengambil seluruh sayur
dan sambel ijomu
Menyibak ikal rambutmu
Sedikit memejamkan mata
demi kecupan selamat malam di antara dua alisku
Tertawa terbahak karena
kacamata kita bertabrakan ketika kita buru-buru berciuman
Tapi banyak hal tak
pernah sama lagi
Kita berubah dan tak
lagi mampu menyesuaikan
Bahkan ada satu waktu
di mana mengingat namamu saja membuatku mual
Juga satu waktu di mana
kita saling bermusuhan
Kita menemukan bahasa
baru yang mewujud dalam diam
Hingga satu malam kita
sadar, pada akhirnya kita akan saling melupakan
Kapan terkahir kita
bertemu?
Di teras, di depan kita
ada pohon mangga, kau mengenakan kemeja kotak-kotak coklat yang membuatmu
nampak lebih tampan berkali-kali lipat
Apakah aku pernah
bilang kau sebenarnya sangat tampan waktu kita bersama? Maafkan aku jika dulu
pelit pujian...sama seperti kau yang lebih sering mengumbar makian, terlebih
ketika membaca koran pagi seribuan.
Kemarin aku membaca
satu novel yang agak membosankan, tapi memiliki bagian depan yang sangat
menarik
Kisahnya sederhana...
Tentang perempuan yang
menunggu kekasihnya datang hingga berpuluh-puluh tahun lamanya, tapi sang
kekasih tak pernah datang, yang datang justru sepucuk undangan, lalu si
perempuan membuat surat begitu panjang untuk kekasihnya itu: mengingatkannya
akan kisah-kisah yang terlewatkan
Aku tidak akan
melakukannya, tenang saja
Aku tidak lagi
mengenangmu sebagai orang yang, akan kutunggu-tunggu hingga aku menua
Kupikir aku tak
sedramatis itu
Aku hanya sedang
berpikir-pikir saja
Aku tidak akan lagi
menyia-nyiakan laki-laki yang berbaik hati mau bersamaku dan aku tak mau lagi
melakukan hal-hal bodoh, mengorbankan waktu, tenaga, dan perasaanku bagi
hal-hal yang...aku bahkan tidak tahu untuk apa.
Apakah kau masih
menyimpan ini di kepalamu?
Ide tentang bertemu
seseorang, lalu jatuh cinta, dan saling tergila-gila. Lalu jatuh cinta lagi,
berkali-kali, tak pernah berhenti, berulang setiap pagi, setiap hari: dengan
orang yang sama.
Apakah kita pernah
merasakannya? Kita pasti hanya akan tertawa. Aku bahkan sudah agak lupa tentang
apa saja yang kita lalui bersama. Saling membacakan cerita. Memasakkan sarapan.
Bertukar film romantis. Berkirim puisi dan lagu-lagu. Atau kalimat-kalimat
nyinyir dan pembelaan-pembelaan panjang yang selalu berakhir diam. Tak pernah
ada kata maaf, dan tak pernah saling memaafkan. Kita hanya pernah saling jatuh cinta.
Kemudian itu semua hilang, karena diam-diam aku membencimu. Sangat
membencimu.
Bagaimana mungkin
seseorang yang tadinya begitu kita cintai bahkan mungkin kita akan rela
melakukan apa saja untuknya....tiba-tiba menjadi begitu kita benci?
Apa setelah itu kita
masih akan percaya jika cinta memang benar-benar ada?
Atau mungkin mencoba
belajar apa yang kata orang realistis: menikahlah ketika usiamu sudah cukup
matang, mapankanlah pekerjaanmu...memiliki anak, dan lain, dan lainnya.
Tapi kau pasti tahu,
aku orang yang paling tidak realistis yang pernah kau kenal.
Aku bahkan mau
mengajakmu ke luar angkasa, jikalah saja pada satu pagi dini hari kita bertemu
UFO, tak apa kita tak kembali ke bumi, asalkan bersamamu.
Aku kaget aku kuat
hidup tanpamu. Tanpa puisi-puisi genit kawannya kawanku yang sering kau
tertawakan dan sengaja kau baca keras-keras. Tanpa siapa pun. Aku kaget aku
mampu menjadi manusia biasa. Ah, kita lama tak bercerita. Coba saja kau tahu
bagaimana aku melewati 8 bulan di tahun sialan ini. Kau akan percaya aku telah
benar-benar belajar untuk menjadi manusia biasa.
Banyak hal terjadi,
banyak hal berubah.
Kadang aku mengira,
adakah lelaki sebaik kau di sana yang akan bilang padaku, "Tidur, jangan
berpikir lagi. Hiduplah di mimpimu"
Kadang aku menduga,
tidak ada lagi. Aku terlalu lama bermimpi soalnya, jadi aku melewatkan banyak
gegap gempita dunia nyata.
Tapi aku sering
berharap masih ada, yang jangan kau tapi, aku sudah tak bisa lagi jatuh hati
lagi padamu. Dia yang dengan caranya sendiri merobohkan dinding-dinding tebal
yang perlahan kubangun sejak kita saling meninggalkan.
Tapi aku takut,
kehadiran seseorang atau siapapun hanya akan membuatku kembai menjadi sosok
manja yang tak punya pegangan. Mengeluhkan segala hal, merepotkan banyak hal,
memikirkan terlalu banyak hal, kau tahu hal-hal seperti itu? Ya, bahkan aku
lupa bagaimana caranya tersenyum manis dan menjawab pertanyaan tanpa muka
menyelidik. Aku telah terbiasa awas untuk tak mudah tersesat ke dalam mata
seseorang demi dapat tetap kembali berpijak dengan kakiku sendiri.
Mungkin sekarang
wajahku berubah persegi. Dan aku tak pernah tahu kau sekarang di mana...
Banyak hal terjadi.
Bahkan aku belum bercerita tentang rutinitas harianku yang...mulai membosankan.
Seperti menyelesaikan tiga tugas yang biasanya harus dikerjakan selama satu
semester hanya dalam satu minggu. Kau tahu, pasti aku akan berlari padamu dan menangis
terisak hingga tertidur sebelum kau ajak makan dan kau antar pulang.
Hidup memang berat,
katamu. Dont turn away, dry your eyes, mengutip satu lirik lagu.
Ya, hidup memang, agak,
berat.
Kukira, itulah kenapa
akhirnya aku demam tinggi dan lalu pingsan. Dan anehnya, aku mengingatmu.
Entahlah, sepertinya kau hadir di salah satu mimpiku.