Senin lalu, saya berkunjung ke rumah salah seorang saudara. Ibu saya
yang mengingatkan ketika paginya kami sempat ngobrol. Lebaran kemarin saya
sempat bertemu Pak Lek dan Bu Lek saya ini, semacam sepupu jauh ibu saya, yang
saya lupa kapan terakhir bertemu mereka sebelumnya. Setahun di Jakarta, dan saya
belum pernah berkunjung ke rumah mereka. Karena kebetulan saya ijin tidak
masuk, waktu yang tadinya ingin saya gunakan untuk mengerjakan “PR”, tapi males
dan belum dapat ide apapun, akhirnya saya gunakan untuk berkunjung ke sana.
Ibu saya mengirimkan nomer Bu Lik saya ini. Lalu saya naik
transjakarta menuju ujung timur hampir utara Jakarta. Dia menjemput saya di
halte, bersama Hazna dan Hazza (yang adalah sepupu jauuuh saya) yang belum saya
kenal sebelumnya juga. Untung mereka manis sekali, kami langsung akrab. Mereka mau
saya tuntun tangannya waktu naik escalator.
Kami menuju salah satu pusat perbelanjaan, mencari sepatu untuk si
sulung Hazna. Berputar-putar mencari. Tidak ada yang cocok. Sampai suka pada
satu sepatu, Hazna suka sekali, satu-satunya sepatu yang dia mau, tapi, tidak
ada nomor yang cocok. Hazna tidak mau sepatu lain. Setelah kelelahan, karena si
bungsu Hazza tertidur, kami pulang. Hazna baik-baik saja sepanjang perjalanan.
Namun, sesampainya di rumah, Hazna tiba-tiba menangis. Dan ia menangis semakin
keras. Boneka-bonekanya dilempar. Tidak mau ganti baju. Terus menangis. Merajuk.
“Mau sepatu baru, pokoknya mau sepatu baru,” katanya.
Saya bingung. Bu Lik saya cuma ketawa-ketawa. “Udah mbak, biarin
aja. Nggak boleh apa-apa diturutin,” sambil menyiapkan makanan untuk kami. Dan akhirnya
saya bermain-main saja bersama Hazza. Benar saja, setelah makanan matang, Hazna
tenang kembali dan kami makan bersama. Tapi tidak waktu saya hendak pulang, dia
mulai menangis lagi. Minta ke mall lagi, beli sepatu baru.
Anak kecil memang ajaib. Saya ingat, saya juga pernah nangis di
sebuah toko baju karena saya mau sesetel baju, yang, itu kebesaran buat saya,
tapi saya maunya itu. Yang pasti, mungkin karena malu, baju putih dan rok hijau
muda polkadot kebesaran itu akhirnya dibeli ibu saya, dan muat hingga beberapa
tahun kemudian. Lebih mending Hazna yang menangis di rumah, daripada saya yang
menangis di toko baju, malah. Ya ampun?! Ternyata iya, sifat keras kepala saya
sudah ada sejak masih bocah, dan tambah keras sampai sekarang.
Dan, sadar tidak, tiap orang selalu memiliki cara merajuk yang unik.
Meski seringnya menyebalkan, dan memalukan, sih, kayaknya. Dan, semakin besar,
cara merajuk orang semakin menyebalkan. Sehari sebelumnya, saya mengalami apa
yang dialami Hazna. Menginginkan sesuatu seperti orang gila, dan sebal sendiri
ketika tidak mendapatkan apa yang saya inginkan. Dan agak menyebalkan bagi
kawan saya, sepertinya.
Demi ngepasin kain yang baru saya beli bulan lalu, saya mencari
satu tunik putih berlengan panjang, tapi berpotongan pendek, dan harus ada
hiasan sulamnya, yang harganya nggak boleh mahal. Nah! Saya pernah melihat
tunik macam itu di sebuah toko beberapa waktu silam, tapi tidak saya beli,
karena, mungkin waktu itu saya nggak pengen. Tebak, selama hari Sabtu dan
Minggu, saya mencari-cari potongan baju macam itu. Dan, ya, nggak ketemu. Sampai
teman kost saya, dia bertanya agak sedikit aneh menatap muka saya yang bĂȘte karena
nggak dapetin itu baju, “Mbak, kamu beneran nyari itu demi kondangan yah?”. Dan
jawaban saya, “Ya nggak juga sih…” Terus kenapa saya emosional banget demi
nyari ini tunik? Bahkan lebih emosional daripada nyari apa kek gitu, yang lebih
berarti dari sekedar tunik?
Nah, dan, semalaman saya menekuk muka, merajuk manja, nggak jelas
gitulah. Kadang saya suka nggak sadar dengan apa yang saya lakukan, dan
ternyata saya melakukan hal bodoh, yang, itu menyebalkan. Maksudnya, saya aja
suka sebal sama teman saya yang melakukan hal-hal yang menurut saya tidak perlu
dilakukan, dan terus, malah saya sendiri yang nglakuin hal-hal tidak perlu itu.
Iya nggak sih? Nggak yah?
Kenapa yah?
Atau mungkin pada dasarnya kita agak-agak sebal dengan hal-hal
berbau “merajuk” ini? Tapi, secara naluriah manusiawi, pasti akan ada kalanya
kita menginginkan sesuatu dan sesuatu itu tidak terpenuhi atau tidak kita
dapatkan, kita pasti akan kesal dan lalu bercerita ke orang lain, atau
mengeluh, dan inilah, kita menjadi perajuk.
Nggak suka sama inilah. Nggak nyaman sama itulah. Hidup kok
gini-gini amatlah. Segala rupa dikomentarin. Segala rupa rasanya salah, aja.
Dan, itu terus terjadi sejak kita masih kecil.
Iya nggak sih?
Kerennya, waktu kecil kita lebih ekspresif. Ingat nggak sih, atau
mungkin kita pernah melihatnya saat bersama adik atau keponakan atau anak
tetangga, anak kecil yang lagi nggak nyaman, dia akan menangis, daaaan,
seketika dia mendapatkan apa yang dia inginkan, dia akan tertawa bahagia dan
lebar banget. Seakan lupa dengan alasan kenapa dia menangis sebelumnya.
Terus kita gede, gede, dan terus gede. Dan kita nggak lagi
ekspresif. Nangis malu, ketawa kelebaran dibilang nggak manner, dan kita cuma
bisa diam, karena ngejelasin pake kata-kata bakal dibilang kecerewetan dan
over-defensif. Lebih senang banting pintu dan ngomong kasar, tapi di belakang. Ngomongin
ke orang lain, sambil bisik-bisik (padahal si orang lainnya ini, bisa jadi juga
pura-pura sabar). Terus diinget-inget teruuuus. Komplain mulu lah pokoknya. Dan,
ini sebenarnya menyebalkan. Tapi anehnya, kita sendiri sering nglakuin itu.
Oke, saya maksudnya.
Ini masih kontekstual sama merajuk nggak sih yah, bdw? Saya kok
bingung sendiri.
Yang pasti, gini, ternyata kita nggak akan berhenti merajuk sampai
kapanpun. Jadi percuma bakal ada kalimat, “Jangan kayak anak kecil, napa?”. Napa?
Karena, iya, kita nggak akan pernah berhenti merajuk. Serius. Eyang saya aja
pernah ngambek, nggak mau tinggal di rumah saya, gara-gara kita larang makan minuman
manis dan gorengan lagi karena doi baru balik dari rumah sakit.
Iya, anak kecil manis manjanya, lah kita? So?
No comments:
Post a Comment