Hidup,
tentu saja, tidak hanya sepanjang putaran pita film selama kurang lebih dua
jam. Juga, tentu saja, tidak hanya setebal seribu sekian halaman novel. Kecuali
saya adalah Sitti Nurbaya dan yang mengatur hidup saya adalah seorang Marah
Rusli.
Tapi,
bisa jadi, setengah dari 110 menit adalah tentang apa yang pernah dan tengah
terjadi pada hidup kita. Karena kadang, dua belas halaman deskripsi tentang
kebiasaan tak terlalu peduli dengan menyisir rambut dan pilihan pakaian di
sebuah cerita adalah kebiasaan yang kita lakukan setiap hari. Bahkan mungkin
satu scene yang hanya lima belas
detik adalah apa yang pernah benar-benar kita lakukan. Memandang matahari
terbenam di antara dentuman ombak itu adalah frame-frame masa lampau yang tak bisa kita lupakan, sementara hampir
tiap film menyelipkannya. Entah dengan sepasang kekasih yang berbahagia,
pelukis yang menemukan pemandangan terbaiknya, atau bahkan seorang patah hati
yang tengah bersyukur, bahwa dunia masih tetap saja indah meski kisah cintanya
hancur.
Tak
heran, jika saya menangis bahagia ketika Jeny Mellor diterima di Oxford pasca kekacaun
hidupnya, masalah di sekolahnya dan dengan mantan kekasihnya dalam “An
Education”. Mungkin karena saya pernah mengalami apa yang dia alami pada
rentang usia yang hampir sama dengan kompleksitas yang sama, aih, apapunlah
namanya. Namun, tentu saja, saya bukanlah seorang Jeny Mellor. Karena saya
terus hidup dan harus menerima kekacaun-kekacuan selanjutnya. Sementara kisah
Jeny selesai ketika dia mulai kuliah di Oxford.
Tapi
selalu ada alasan untuk merasa mirip dengan tiap karakter yang lahir dari
sebuah cerita. Bahkan orang lain menyadarinya terlebih dulu.
Atau
mungkin kita terkejut. Karena jalan hidup kita, nyaris seperti pada sebuah
cerita.
Tentu
saja penulis bukan tuhan bagi pembacanya. Tentu saja setiap orang punya tujuan untuk
digapai yang datangnya entah dari mana. Tentu saja ada kebetulan yang
seringkali menyadarkan. Dan, lagi, tentu saja, setiap orang punya hak untuk
mempercayai tiap kebetulan yang kebetulan muncul lalu menduga-duga cerita
selanjutnya.
***
Waktu
itu sekitar tahun, saya lupa. Mungkin saya tingkat dua, sekitar tahun 2009?
Dee, salah satu penulis yang suka, oke, saya suka sekali diaaa, setelah “Filosofi
Kopi” dan “Rectoverso” yang membuat saya versi delapan belas tahun kemudian
merasa bijak seperti perempuan empat puluh tahun yang sudah khatam pahit-manis
kehidupan, menerbitkan buku terbarunya. “Perahu Kertas”. Oke, mungkin saya
salah (tapi kayaknya itu urutan baca buku Dee versi saya). Selesai membaca, kok
gini?
Dee
sedang bercerita tentang seorang remaja yang tumbuh menjadi dewasa. Meski,
entah kenapa, bagi saya itu karya terburuk Dee. Meski saya tidak akan menarik
kalimat sebelumnya, ternyata “Perahu Kertas” mengantarkan saya menuju masa
dewasa saya. Lulus SMA. Kuliah. Bersahabat. Jatuh cinta. Memilih. Patah hati. Cepat-cepat
lulus kuliah karena merasa masih banyak hal lain menunggu. Bekerja. Mencari
jati diri. Membangun mimpi. Realistis. Berkorban. Dan terus tertawa.
Lalu
saya menonton filmnya. Membaca kembali bukunya.
Dan
menyadari bahwa, tak hanya satu orang, dua orang, setidaknya beberapa kawan
terdekat bilang: Kugy, karakter perempuan di “Perahu Kertas”, itu kayak saya.
Seperti si Rani menulis di twitternya: “Si "Kugi"
Perahu Kertas ni klo diliat krkter+style nya mirip @fuadiyah ;p”
Apakah saya ke-ge-eran? Tentu. Di film “Perahu
Kertas” garapan Hanung Bramantyo, Kugy ini diperankan dengan apik oleh Maudy
Ayunda, salah satu aktris pendatang baru yang cantik dan aktingnya perlu
diperhitungkan di masa-masa mendatang asal dia tidak coba-coba main sinetron.
Lalu
saya sadar, dia tidak sedang bicara tentang kecantikan dan kemiripan muka. Karena
kalau itu adalah tentang Kugy yang tak terlalu peduli meski rambutnya
acak-acakan dan yang makannya dibilang banyak seperti baru saja narik becak,
atau selalu tidak peduli dengan padu-padan warna baju dan tidak bisa membedakan
mana baju tidur dan mana baju untuk kuliah, mungkin benar Kugy mirip saya.
Rani,
bukan orang pertama yang bilang. Kakak kost saya Teh Risma, Kang Rizwan yang
dulu bukunya saya pinjam, dan Shinta yang barusan barengan lihat filmnya. Dan,
saya sendiri sebenarnya sempat merasa. Sebenarnya itu hiburan bagi saya, karena
berarti ada banyak orang di luar sana yang tidak terlalu peduli dengan masalah
baju!
Tapi
jika ternyata, saya senang membuat cerita-cerita yang hanya adik saya yang
berusia tujuh tahun yang akan tertarik mendengarnya, tergila-gila dengan
mahasiswa DKV yang pintar gambar, atau pintar motret, syukur-syukur jago
nglukis pakai kuas dan cat air. Jangan-jangan saya terpengaruh gangguan Neptunian
atau semacamnya yang ditularkan karakter Kugy. Bahkan, selepas lulus kuliah,
saya ternyata juga harus bekerja sebagai copy writer. Jalan tengah antara mimpi
saya menjadi pemimpin redaksi Femin* dan keinginan sebagai jurnalis yang tak
direstui. Jalan tengah yang dipertimbangkan dengan matang, setelah melewati
waktu yang tak pendek untuk mengatakan bahwa, “saya jatuh cinta dengan advertising”
pasca tugas kuliah periklanan. Sampai akhirnya beritikad baik untuk memilih
jalan ini, jalan pelan-pelan, dan mungkin akan menyetop angkot atau taxi kalau sedikit capek nanti.
Yah,
tidak ada Keenan dalam hidup saya. Kecuali seorang mantan pacar yang jago
gambar, tapi dia seorang illustrator, dan bukan pelukis. Dan, tidak ada kisah
cinta yang cukup manis seperti Kugy dan Keenan-nya. Saya juga tentu tidak
berharap akan saling jatuh cinta dengan bos saya, seperti Kugy dan Remy. Belum pernah
secara khusus berkeinginan punya kekasih seorang pelukis, meski saya akui,
pelukis itu keren. Malah saya pernahnya berkeinginan untuk memiliki kekasih
seorang penulis, karena akhirnya pernah kesampean, sekarang mungkin saya akan
memikirkannya berkali-kali untuk pengen-pengenan masalah seperti itu.
Karena kadang seseorang yang senang menulis itu suka over-reacted, yah, nih saya contohnya. Dan dikirimi semacam puisi atau sejenisnya tiap hari, ternyata tidak terlalu menyenangkan. Apalagi jika mereka terlelau sensitif menanggapi sesuatu, bisa jadi kita lama-lama akan kehilangan respect terhadap kepandaian mereka. Karena, mengikuti kata teman saya, “Karakter seseorang tidak selalu mirip dengan apa yang ditulisnya, make sure, kita suka tulisan dan pemikirannya, atau orangnya.” Yah. Noted. (Ini adalah contoh paragraf over-reacted yang disengaja)
Karena kadang seseorang yang senang menulis itu suka over-reacted, yah, nih saya contohnya. Dan dikirimi semacam puisi atau sejenisnya tiap hari, ternyata tidak terlalu menyenangkan. Apalagi jika mereka terlelau sensitif menanggapi sesuatu, bisa jadi kita lama-lama akan kehilangan respect terhadap kepandaian mereka. Karena, mengikuti kata teman saya, “Karakter seseorang tidak selalu mirip dengan apa yang ditulisnya, make sure, kita suka tulisan dan pemikirannya, atau orangnya.” Yah. Noted. (Ini adalah contoh paragraf over-reacted yang disengaja)
Jika
“Perahu Kertas” mengajak saya menyelami kisah romantis Kugy dan Keenan yang
cukup berliku dan bagaimana mereka tumbuh, mengambil
tanggungjawab-tanggungjawab yang tidak pernah kita duga sebelumnya. Mengikuti perjuangan
keduanya mewujudkan mimpi yang bagi banyak diantara kita dianggap tidak
realistis. Dan berani memilih diantara banyaknya pilihan-pilihan yang sulit. Kemudian
filmnya mengajak saya menikmati gambar-gambar cantik, yang meskipun editingnya
terasa terlalu melompat-lompat, tapi sepertinya setiap sutradara memang harus
mencoba resep-resep Woody Allen dalam menata gambarnya, dan Hanung cukup
berhasil menyajikan komposisi indah yang nyaman dipandang mata dan yah,
ketajaman yang pas khas kamera HD.
Setiap
orang tentu punya cerita cintanya sendiri-sendiri. Tanggungjawab yang harus
ditanggung sendiri-sendiri. Dan mimpi-mimpi yang harus diraih.
Meski
saya secara keseluruhan sebenarnya tidak terlalu mirip Kugy, tapi tentang
mencintai hidup.
Saya
yang saat itu berusia sekitar delapan belas tahunan, sepertinya belajar banyak
pada Kugy. Dan saya setuju dengan Kugy, melihat tawa seorang anak kecil itu
adalah surga. Apalagi jika kita yang membuat mereka tertawa, maka kitalah
malaikatnya. Ah, apalagi sekiranya yang lebih agung dari manusia, selain
malaikat?
Adik
saya, Lulu, dia sudah cukup mulai menuliskan ceritanya sendiri. Tentang peri,
tentang nenek (yang dia anggap sebagai eyang kami yang sudah meninggal),
tentang persahabatan dengan kawan-kawannya di sekolah, bahkan dia mencoba
menuliskan lagi cerita di film “Hugo”-nya Martin Scorsese yang kita tonton
bersama. Sepertinya saya akan malu, amat sangat malu, jika saya tidak
menyelesaikan kisah “Alefo si Pangeran Semut” dari Negeri Barobaro, kisah “Neina”
dan gaun pernikahan mamanya.
Atau
mungkin, sama seperti tiap orang yang tercebur ke dunia iklan, seperti Kugy
yang memandangi piala-piala Citra Pariwara yang digantung berjejer, pastinya
saya bermimpi jika suatu hari nanti saya juga memenangkannya. Cannes Lion kalau
perlu.
Ah,
sudahlah. Enaknya bermimpi.
Kugy
tidak seperti saya, Dee muda pasti menemukannya di satu ladang imajinasinya
yang dingin dan segar. Saya sempat curiga, mungkin karakter Keenan adalah
karakter cowok idaman Dee muda. Hhhi, but
hei, who doesn’t love the high-cute-messy-but artsy boy named Keenan?
Saya
juga tidak seperti Kugy.
Saya
akan menuliskan cerita saya sendiri. Bukan di sebuah perahu kertas yang menemui
neptunus di samudra luas. Mungkin di potongan slip atm dan belanja yang akan
saya tunjukan pada dewa uang, sambil memohon agar kelak saya dibekali kemampuan
menabung dan mengatur uang di pasar saham.
Ah,
sudahlah.
Intinya,
entah kenapa, saya ingin berterimakasih pada Dee.
Meski
saya mencintai “Rico de Coro”, dan agak tidak berani membunuh kecoa dengan
memukulnya, tapi lebih memilih untuk menyemprotnya, nyatanya saya belum pernah
menuliskannya. Meski saya sangat prihatin dengan kematian Hera yang “Mencari
Herman”, nyatanya saya tidak ingin seperti dia. Meski saya setuju dengan
gunanya “Spasi”, saya pun hanya sekali menyebutkannya di catatan saya bahwa itu
adalah satu di antara puisi yang saya suka sekali. Atau mungkin juga tentang “Surat
yang tak pernah sampai”, yang akhirnya saya kirim kepada yang berhak
mendapatkannya. Saya yang ternyata tetap tidak jodoh dengan kopi, meski
membayangkan itu adalah Kopi Tiwus yang Ben racik di kedai “Filosofi Kopi”. Dan
apakah saya pernah bilang bahwa saya membacakan “Lilin Merah” di perayaan tujuh
belas tahun majalah di kampus saya?
Saya
bilang “Perahu Kertas” adalah karya Dee yang paling tidak bagus diantara
karya-karyanya yang lain yang saya anggap bagus. Tapi ternyata, Kugy itu yang
paling nyata. Kugy yang paling manusia. Seperti saya. Seperti ribuan perempuan
lain, yang ketika membaca bukunya atau menonton filmnya, di dalam hatinya diam-diam
dia berucap: iya, bener, kita agak mirip.
Terimakasih
Dee, ternyata Kugy juga ujian skripsi.
*ah,
nikmatnya nulis dengan kesombongan tingkat dewa.