Showing posts with label musik. Show all posts
Showing posts with label musik. Show all posts

Wednesday, February 22, 2012

...untuk #meandmaliq




Pada awalnya, tulisan ini berisi seratus persen curhat, betapa satu album terakhir mereka benar-benar “saya banget”, semacam mengikuti apa yang ada di perasaan dan pikiran saya, atau mungkin sebaliknya, pikiran dan perasaan saya mengikuti lagu-lagu mereka yang terlalu sering saya dengarkan. Di akhir cerita, saya percaya dengan kalimat dalam lirik-lirik mereka.

Khususnya, pada single yang sedang sering diputar di radio-radio, “Penasaran”. Ah, padahal itu lagu udah bikin semacam pencerahan bagi saya dari akhir tahun kemarin. Gara-gara saya agak tidak yakin dengan judul ini, karena macam lagunya Rhoma Irama. Tapi, ternyata lagunya ‘sesuatu’ sekali. Tapi itu tidak penting.

Karena yang lebih penting, dan, menjadi alasan bagi saya untuk mencari dan membuka lagi bakal tulisan ini adalah karena ternyata bukan hanya saya yang memiliki semacam “kebetulan” yang sama. Jika ternyata lagu-lagu mereka pernah begitu mengena bagi banyak orang lain. Melalui #meandmaliq, ratusan orang mengaku: iya, lagu Maliq&D’Essentials punya makna di hidup saya.

Pada satu siang tanpa sengaja saya melihat lini masa dan menemukan hastag #meandmaliq. “Waaahhhh, ternyataa…,” pikir saya kala itu. Kemudian, saya bertekad menyelesaikan tulisan ini.

---

Diantara playlist radio yang memutar lagu-lagu pop dari band-band yang booming kala itu, “Terdiam” mampu menarik telinga saya yang cukup tergila-gila dengan Peterpan dan Nidji. Lebih kalem, lebih elegan, nyaman di telinga saya. Enak di dengernya, sederhana tapi kaya. Kalau diingat-ingat, karena referensi musik saya hanya radio top40, lagu dengan irama sejenis juga berasal dari Tompi (kala itu). Referensi musik saya memang terbatas.

Susul menyusul, “Kangen” dan “Untitled”, membuat kita semakin jatuh cinta pada kelompok unik ini.  Ketika kelompok musik lain berupaya menjadi yang terganteng diantara yang ganteng (kalo sekarang sedang booming boyband-girlband-kekorea-koreaan, dulu sedang booming band macam Peterpan, Nidji, Samson, Kerispatih, Letto, dan sebelumnya sudah ada Gigi dan Padi). Yup, uniknya berasal dari adanya Indah dan Dimi di vokal menemani Angga yang (saat itu) kribo. Mereka bukan backing vocal, mereka vocalist, dan sepertinya konsep ini kemudian dicontek oleh Ecoutez.

Beberapa kali berganti personil, termasuk keluarnya Dimi (belakangan dia punya album jazz sendiri) dan Satrio. Hingga munculah si ganteng Lale, yang menggantikan Satrio sejak 2009 (dan, ini, dianggap memberi banyak pengaruh pada musik Maliq). Jadilah formasi lengkap hingga sekarang adalah Angga dan Indah (vocal), Widi (drums), Jawa (bass), Ifa (keyboards), Lale (guitar) dan Amar (horns). Merekalah esensi dari Music And Live Instrument Quality (MALIQ).

Bagaimana dengan genre? Gara-gara langganan manggung di Java Jazz dan adanya unsur saksofon yang kental pada lagu-lagunya, banyak orang mengira mereka adalah musisi jazz. Tapi, sepertinya mereka lebih senang jika mereka dianggap sebagai musisi yang memainkan musik-musik soul, dengan ciri vokal yang penuh improvisasi, sedikit nge-blues, agak r&b, jazzy, dan tentu saja funk. Dalam satu wawancara, seingat saya, Indah pernah bilang bahwa mereka adalah kelompok pop-kreatif, daripada disebut sebagai kelompok jazz. Salah satunya adalah karena mereka memang memasukan banyak unsur musik selain jazz ke dalam ramuan lagu-lagu mereka.

Tapi Maliq (saya akan menuliskan Maliq saja ya…) bagi saya memang awal untuk lebih bisa menikmati saksofon dalam racikan yang jazzy. Jika harus memilih beberapa musisi lokal yang memasukan bebunyian dari horns dalam lagu-lagunya, saya memilih Maliq. Bisa dibilang, dalam waktu bersamaan lagu-lagu dengan unsure jazzy memang mulai keluar dan banyak diterima. Tak heran, beberapa event musik ataupun gelaran kampus dengan embel-embel jazz pasti memasang antara Maliq, Tompi, Andien, Ecoutez, atau belakangan juga Sandy Shandoro.

Dan saya kira, semua ini berkat “Terdiam”. Album 1st (First) membuka kesempatan bagi Maliq untuk menjadi salah satu kelompok yang harus mulai dicintai. Khususnya bagi saya.

Kembali di album ketiga (album kedua mereka adalah First Repackage), Free Your Mind, berisikan duabelas lagu (dan dua lagu versi remix) lebih kental dengan irama funk yang rancak. Terdengar macam Jamiroquai. Dan, sepertinya hanya single “Heaven” yang cukup banyak dikenal. Padahal, kalau boleh memilih, favorit saya di album ini adalah “Yang Pertama”, mungkin karena pada dasarnya saya lebih menyukai gaya Maliq di album sebelumnya yang terdapat di lagu ini.

Tapi, sepertinya, seperti ribuan fans Maliq lainnya, lagu “Dia” yang mampu membuat saya menyatakan diri sebagai penggemar Maliq. Apa yah? Lagu “Dia” itu ternyata mampu memberikan gambaran yang sangat-sangat-sangat menyenangkan tentang jatuh cinta.

Sebenarnya ini bisa-bisanya saya aja, yang entah kenapa selalu lebih senang lagu menyenangkan daripada lagu sedih-mendayu-memaksa-menyerah-putusasa-dsb. Single “Dia” dan “Kau Yang Bisa” kemudian dimasukan dalam album Free Your Mind Repacked. Dua single tersebut merupakan soundtrack film “Claudia/Jasmine”, kalau yang udah pernah nonton film-nya, itu salah satu film sederhana yang bagus. Film ringan yang bagus, macam “Hari Untuk Amanda”.

Sesederhana lagu “Dia”. Saya memang fans pada umumnya kok, yang menyukai lagu karena liriknya. Seperti saya benar-benar tersihir lirik “Yellow” milik Coldplay, atau lirik “You” milik Mocca, saya benar-benar tersihir lirik pada “Dia”. Polos dan jujur. Bagian ini deh, “Tanpa buah kata, dia curi hatiku. Dia tunjukan dengan tulus cintanya. Terasa berbeda, saat bersamanya. Aku jatuh cinta….”  (khusus bagian ini:“Tanpa buah kata, dia curi hatiku,” saya nggak apa yang ada di pikiran orang yang nyiptain kalimat itu pas nemu kalimat itu…)

Ya emang kalau lagi jatuh cinta, atau apalah isitilahnya, ya emang gitu adanya, apalagi kalau ternyata dia adalah orang selama ini kita inginkan. Pernah kan, satu hari, kita ketemu orang, e, nggak ketemu deh, kenal orang dan ada semacam feeling aneh macam “Nah, ini nih, orangnya…”. Atau mungkin, pada satu waktu kita  akhirnya menyadari perasaan macam itu ke orang yang udah lama kita kenal, “Sebenernya nyari yang kayak gini nih…”. Semacam itulah pokoknya. Tanpa banyak kata-kata gombal, tanpa banyak basa-basi, ada aja perasaan kayak gitu setelah kita semacam lamaaaa banget nggak ngerasa kayak gitu. Dan, ternyata, orang itu juga merasakan yang sama, semacam juga suka sama kita gitu. Abis itu, tinggal gimana selanjutnya deh... Nah, lagu “Dia” ini mampu membungukus perasaan itu, perasaan jatuh cinta itu. Ah, saya apaan banget sih yah? Cupu gitu yah. “Give me your love, give me your love now, so come and love me, come on and love me….”

Saya menduga, seperti halnya saya, sepertinya orang-orang yang suka sama Maliq adalah karena lagu-lagu mereka yang menyenangkan. Satu teman pernah bilang kalau lagu-lagu mereka ini mengawang-awang, melenakan. Tapi ya apa deh? Ya emang di situ enaknya. Atau macam ada yang bilang juga, yang suka Maliq pasti cewek-cewek, tapi, ehm…saya yakin banyak cowok yang juga dengerin mereka. Atau bakal nggak sengaja diem dan mikir pas denger lagu mereka. Temen saya, gandrung banget sama lagu “The One” dan “Untitiled” terus keasyikan pas, “Lady I know you’re the one for me, lady you’re the one I need…” dan bagian “Adakah diriku, o, singgah di hatimu, dan bilakah kau tahu, kau yang ada di hatiku…”. See?

Jika kelompok lain mungkin akan mengalami semacam penurunan kualitas di album selanjutnya, seperti misalnya Nidji (saya mengenal mereka dalam waktu yang bersamaan), yang album Top Up-nya jauuuuuuh banget sama album Breakthrough, Maliq rasanya semakin oke saja di album keempat mereka, Mata Hati Telinga.

Single pertama, “Pilihanku” bagi saya adalah Maliq banget, sekaligus agak lebih segar. Nah, ini dia, efek masuknya Lale, yang berhasil memasukan “distorsi”-nya sekaligus membuat Maliq terasa lebih “MALIQ”. Lirik manis, musik rancak, menyenangkan.  Lima lagu lainnya di album ini boleh dibilang sama matangnya dengan “Pilihanku”. Kalau favorit saya, tentu saja “Luluh”, walaupun Kenyo –mantan teman kost saya yang suka banget Maliq lebih suka “Coba Katakan”, atau Titis –teman cowok yang juga ngefans mereka lebih senang dengan “Mata Hati Telinga”. Mungkin karena Kenyo udah pengen nikah, sementara Titis sedang mencoba move-on dari kapan tahun, dan saya yang labil, benci ketidakpastian tapi gampang luluh, hloh?? Cupu!

Padatnya jadwal manggung dan produktifitas manajemen mereka melahirkan band-band oke lain (misal: Tweentyfirstnight dan Soulvibe) tidak begitu saja menjadikan Maliq diam. Pada tahun 2010, mereka melaunching album terbaru mereka The Beginning of a Beautiful Life. Saya kira, tujuh lagu di album ini boleh dibilang matang. Setidaknya, album ini tidak menjatuhkan mereka, tapi justru semakin mengokohkan mereka sebagai kelompok yang tidak ‘ecek-ecek’, tidak ‘kebawa arus’, dan punya karakter yang bagi saya si ya, menyenangkan tanpa melenakan tapi mempertanyakan dan mencari jawaban.

Inilah kenapa, saya kira, pada akhirnya, lagu-lagu mereka banyak disukai karena “kedekatan” psikologis dengan kita semua. Semacam kegalaun (yah, walaupun saya benci kata “galau”). Kalau memang galau itu semacam perasaan tidak menentu karena masalah cinta-cintaan. Ya mungkin inilah, lagu-lagu mereka agakanya tepat dijadikan kawan mikir saat bergalau. Begini, dalam galau itu saya kira juga bukan hanya tentang mengikuti perasaan berlebih-lebihan, tapi juga memikirkan yang lebih baik setelahnya. Bolehlah nangis dan nggak makan seharian, tapi bolehlah juga merasa beruntung memiliki satu kesempatan lebih baik setelahnya. Jadi, “mikir” bersama lagu-lagu Maliq itu adalah pilihan yang sangat tepat.

Ya, begitulah.

Dalam album terakhir mereka, lagu “Menari” itu agaknya paling menari-narikan perasaan. Tentang pasangan (ya, saya menginterpretasikannya sebagai pasangan) yang sedang bahagia-bahagianya, melupakan banyak hal yang buruk, membangun banyak hal yang menyenangkan di masa depan, menari aja mah pokoknya. Tapi, ehm, emang yakin, bakal gitu terus? Enggak kan? Nah, lagu-lagu lain di album ini bisa menjadi cerita yang indah-nggak indah-indaaaaaaah, the beginning of a beautiful life…

Seperti ini deh cerita yang ada dalam bayangan saya:
Dalam “Terlalu”, merupakan keadaan yang ingin melupakan ikatan-ikatan masa lalu. Mungkin karena sakit hati atau macam masih berharap pada orang di masa lalu atau menunggu tapi kita sendiri udah nggak bisa di posisi itu. Ingin move on, tapi belum bisa…
Lalu, dalam “Get Down and Slide”, nah, ini dia, ketika kita udah mulai bisa move-on. Mungkin, ehm, akhirnya kita semacam mulai bisa membuka hati gitu… Tapi masih santai, mencari-cari, mungkin juga memilih…. Oia, single ini paling rancak dan menyenangkan sekali loh, macam “Heaven”…

Mungkin akhirnya kita menemukan satu yang kita anggap paling baik diantara yang baik. “Maybe You”, mencoba menimbang… “Jangan tanya ke mana, kita akan terbawa, mungkin akan ke sana, atau hanya di sini. Akupun tak ingin kau salah, menebak apa yang kumau. Akupun tak tahu ke mana, ku ingin menikmati saja. Maybe it’s you, I wish I knew… Ku tak tahu jawabnya, hingga datang saatnya, biarkan esok tiba, dengan semua rahasiaaaaa…” Iya kan yah? Kadang kita suka atau semacam itulah dengan orang, tapi kita ada semacam “eh, yakin nih?” tapi yakin, tapi juga sadar ada yang keliru. Mungkin kamu… tapi, mungkin…

Dan, ketika akhirnya bersama seseorang itu, mungkin karena yakin atau kekuatan entah dari mana ketika memutuskan bersama. Lagu “Menari” dijamin bakal sering diputar pas baru jadian deh… atau ngelihatin video klipnya sambil diem lamaaaa sama pacar kalian, dan senyum aneh waktu videonya habis sambil bilang, videonya bagus yah... “O, lihat bintang, bertaburan. Bunga-bunga, kupu-kupu saling menyapa, mengajak kita, terbang bersama ke sana, menari-nari asmara…”

Tapi, ehm, tapi… nggak semua hubungan itu akan menyenangkan kali yah. “Mengisi lautan, menggapai khayalan, bahagiaaaa…”-nya mungkin bukan sama orang itu. Mungkin bukan dia, mungkin bukan kamu, mungkin bukaaaan… pernah kan, mikir kayak gitu. Ragu, nggak yakin, pengen pergi, tapi luluh lagi, pengen pergi tapi juga nggak bisa… Apa iya cinta, tapi kok rasanya nggak bisa ngaku kalau itu cinta, mau pergi, tapi rasanya ada yang harus dijaga… pernah kan?

Nah, perasaan macam itu, dan, bagi saya, itu adalah momen paling “galau” sepanjang pengalaman cinta-cintaan. Kita cinta nggak sih, sama orang yang katanya pacar kita itu? Orang yang katanya pacar kita itu, cinta nggak sih sama kita? Dan, ini, perasaan galau (yang lebih galau dari “Someone Like You”-nya Adele), ada di lagu “Penasaran”. “Kau bertanya, mengapa kita pernah berjalan. Mencoba pertahankan, meskipun tahu ada yang salah. Benarkah ini hanyalah, penasaran cintaaa… Aku denganmu, selalu jadi pertanyaan, tanpa sebuah jawaban tentang cinta. Dirimu dan aku, tlah banyak buang waktu, terus mencari jawaban, mencari alasan cinta…”

Inilah kenapa, bagi saya “Someone Like You”-nya Adele itu biasa aja. Toh yah, orang yang udah pergi, kenapa harus di “Don’t forget me, I beg…” Masihkan penting?
Forget itu proses, by the time, bakal bisa dengan sendirinya, asalkan udah forgive. Nah, rasanya Adele itu belum forgive. Ups, e, kan ya terserah orang lain ding.

Nah, ketika pada akhirnya, tidak ada jawaban tentang cinta. Apa lagi sih yang penting dari sebuah hubungan? Menunggu berantem atau saling membenci? Tidak perlu. Karena pada akhirnya, jika kedua-duanya sadar ada yang salah, entah apa itu, mungkin perbedaan pandangan di masa depan, keyakinan, hilangnya rasa percaya, suka pada pihak lain, tidak bisa sayang, atau sekedar hal kecil yang berpotensi membentuk pandangan masa depan yang jauuuh berbeda, atau memang dari awalnya sudah keliru, atau ternyata adanya kebohongan-kobohongan nggak penting yang memicu nggak percaya dan nggak yakin itu, apa yang perlu dipertahankan? Mungkin memang benar, itu semua adalah tentang penasaran. Penasaran untuk saling menaklukan dan saling mengalahkan. Sebelum lebih rumit, mungkin lebih baik sebuah hubungan itu diselesaikan.

Pada “Berbeda”, berpisah adalah sesuatu yang ringan. Menjadi sangat ringan. Memang tidak lagi ada alasan yang harus dipertankan, perbedaannya terlalu besar. Daripada saling menyakiti, menyiksa, memberatkan satu sama lain. “Rasa ini tak kan berdusta, semua ini mungkin berubah. Kali ini, memang tak akan terjadi, tak ada yang pasti, meskipun terjadi, tiada yang sempurna…”

Dan, nyatanya, hidup tidak menjadi lebih buruk setelah perpisahan karena banyaknya perbedaan atau memang tidak adanya cinta itu. Karena, itu semua, bisa saja adalah awal untuk menuju “Beautiful Life”. Sebuah lagu yang mengajak survive dan bersyukur. Dan, hei, rasa-rasanya, baru di lagu ini suara Indah dominan dari awal hingga akhir lagu. Saya suka tipe suarnya yang soulful itu. Dan dia improve habis-habisan di lagu ini. “it’s a new beginning of a beautiful life…. It’s a beautiful life when you survive, and everything is all right…”


Dan, yang paling penting sebenarnya, terlepas dari analisis aneh tentang album terakhir mereka, bagi saya, Maliq menjadi semacam tanda adanya musisi lokal yang masih memiliki idealisme. Mempertahankan karakter mereka. Dan, meskipun saya nggak ngerti musik, nggak ngerti sejarah musik dari kapan tahun, bagi saya, musik mereka itu ya bagus. Apa yah? Beda aja. Beda, kaya, lirik mereka sederhana tapi ngajak mikir. Saya percaya, musisi hebat itu selain bisa menciptakan irama yang hebat juga harus bisa menciptakan lirik yang hebat. Sekaligus, ini yang boleh dicontoh banyak musisi lain, merekrut penggemar dan bertahan di industri musik.

Saya kira, Maliq adalaha satu diantara beberapa musisi yang punya “pasar” yang stabil dan memiliki banyak penggemar setia. Saya percaya ada orang yang sudah nonton konsernya puluhan kali. Karena kalau boleh dituruti, saya juga mau nonton mereka terus kalau mereka konser di tempat yang bisa dengan mudah saya jangkau. Percaya nggak percaya, performance mereka itu maksimal. Saya sangat nggak menduga, waktu nonton konser mereka dan di lagu “Funk Flow” mereka melakukan semacam tarian yang kompak dan rancak.

Mungkin karena, ehm, mereka itu juga indie kali yah. Dalam artian, meskipun ternyata mereka awalnya berada di bawah label Warner Music, kini mereka memproduksi sendiri album mereka dan memiliki manajemen sendiri. Sekaligus memproduseri beberapa musisi yang memiliki garis musik yang hampir sama. “Tergila”-nya 21night itu berasa “Pilihanku” sekali.

Oke, panjang ternyata…

Setahu saya, Maliq masih sangat sering manggung, termasuk di Java Jazz besok. Terakhir mereka sepertinya membuat single bersama 21night, tapi saya belum mendengarkannya. Dan, paling terakhir, sepertinya mereka memiliki semacam project “Radio Killed the Video TV”, aduh saya lupa kalimatnya…

Kalau ditanya momen #meandmaliq saya, mungkin saya akan menjawab, kalau lagu-lagu mereka ngajak saya terus survive dan bersyukur. Survive dan bersyukur tentang banyak hal bahagia tentang cinta-cinta itu…

Dan, lagu-lagu semacam itu yang membuat saya biasanya bakal bikin saya suka. Walaupun saya ragu untuk menyebut diri saya “D’essentials” macam, saya juga ragu menyebut diri saya “Coldplayers”.

November 2011 – Februari 2012.

Sunday, February 12, 2012

...Sigur Rós dan setelahnya…


Mendengar Sigur Rós adalah mendengar sesuatu yang menenangkan, kan?

Saya tahu itu agak berlebihan. Tapi, jika satu malam saya mendengarkan mereka, dan keesokan paginya saya bangun dengan perasaan nyaman karena tidur yang lelap, barangkali ini (juga) karena Sigur Rós. Barangkali. Hanya barangkali.

Pada awalnya saya tidak menduga jika namanya masuk dalam list kompilasi yang saya dapatkan minggu lalu. Karena sesungguhnya, saya punya semacam “bad-feeling” dengan Sigur Rós ini.

Saya jadi ingat, teman saya pernah menanyakan prihal, “Apakah saya mendengarkan Sigur Rós juga?” Tentu saya jawab, “Tidak.” Lalu dia menawarkan untuk mengirimkan lagunya, saya jawab lagi, “Enggak, nggak usah…” Saya nggak mau dikirimin lagu dari Sigur Rós itu. Siapapun dia, saya nggak mau.

Pernah kan, kita diberi bermacam lagu, bermacam album, dari bermacam penyanyi, tapi tidak kita dengarkan dengan sungguh-sungguh? Pernah? Nah, itu. Itulah mengapa saya tidak mau dikasih lagunya Sigur Rós. Karena, saya yakin saya tidak akan mendengarkannya. Kenapa, karena dalam bayangan saya, mendengar dan membaca nama Sigur Rós, mengingatkan saya pada jenis musik macam klasik rock atau metal dengan riff gitar panjang dan melengking, dan ehm, kerraasss. Tipe jenis musik yang hampir (tidak mungkin) saya dengarkan. Macam adik saya yang entah kenapa, memasukan empat atau lima album Avenged Sevenfold di laptop saya, yang kadang ingin saya hapus.

Itulah Sigur Rós dalam bayangan saya. Oke. Jahatnya saya, yang udah memberi penilaian negatif (versi saya), tanpa mau mendengarkannya. Padahal kan ini lagu, kok bisa-bisanya saya memberi penilaian berdasarkan namanya. Aneh deh saya.

Tapi saya tahu, kalau Sigur Rós itu terkenal. Tapi, tetap, dalam bayangan saya, dia itu legenda metal, macam Slash yang udah tua gitu. Nggak tau deh, namanya udah tua banget bagi saya. Gituuuu, hehhee… :D :D

Kapan saya pengen dengerin Sigur Rós, dengan sesungguhnya?

Adalah bukan, ketika beberapa teman yang bilang L’alphalpha itu kayak Sigur Rós. Itu terjadi waktu saya akan dateng ke satu gigs, dan saya nggak tahu siapa-siapa pemainnya. Walaupun saya dijelaskan tentang post-rock, saya nggak ngeh. Ya gimana dong, saya belum pernah dengerin je… walaupun saya akhirnya mendownload satu lagunya L’alphalpha, tapi saya fokus ke mereka. Saya lupa tentang Sigur Rós. Dan, efek melihat secara langsung aksi L’alphalpha, saya ikut jatuh hati dengan nuansa “kaya”, “megah” dan “penuh” yang hadir dari alat-alat musik biasa macam gitar, bass, drum, keyboard, synthesizer, biola, dan aneka mainan. Atau emang suasana live-nya, atau emang saya nonton dengan orang yang pembawaannya tenang dan kalem. Semacam antitesis dari saya dan keseharian saya kala itu yang buru-buru dan heboh? Entahlah.

Saya akhirnya mengetik nama Sigur Rós di laman pencari google dan 4shared, adalah setelah: pada satu siang yang tidak sabar menunggu penguji saya di depan ruang jurusan. Si Okky, teman sekelas, yang sama-sama suka Britpop, tiba-tiba tanya ke saya: “E, Yah, lu dengerin “Comforting Sound” itu yang durasi berapa menit Yah?”. “Delapanan menit kayaknya Ok, kenapa gitu?” tanya saya. “Enggak, kan ada yang pendek deh…”. Oke… akhirnya siang itu kita ngobrolin MEW dan Coldplay, terus saya bilang, “Ok, kalau pengen tahu gabungan antara mew sama coldplay, kamu dengerin Apparatjik deh. Itu Guy Barryman basisnya coldplay bikin band sama vocalisnya mew…”. Terus Okky girang, “E, beneran lu Yah? Lu ada kagak di henpon lu, Bluetooth bb gue deh… (logat betawi kental),”. Saya punyanya cuma yang “Ferreting”, saya kasihlah ke Okky. Sebelum dia mengumpat-ngumpat sendiri kegirangan dan bilang, “Ini nih, gue seneng lagu-lagu kayak gini…”. Dan, dengan bego saya bilang, “Islandia-an gitu ya Okk…”. “Bukan Diyah, Norway lah, Islandia nih ini, Sigur Rós, tau kagak lu?” kata dia masih dengan logat betawinya. “Enggak,” kata saya. “Ah, parah lu ah (kata “parah” sangat ngetren di teman-teman saya), cari deh, Sigur Rós, enak juga tuh…”. Saya jawab oke, sementara Okky promo tentang Sigur Rós dengan menyebutkan lagu-lagunya, dan saya keinget L’alphalpha.

Malamnya saya berniat download di 4shared, sesuai anjuran Okky, saya mendownload yang “Festival”. Dan membaca tentang Sigur Rós di Wikipedia. Oke. Bego kedua. Ternyata Sigur Rós itu band, tadinya saya kira semacam solo gitu. E, kan, sekarang banyak orang canggih, sejak musik digital menguasai dunia, selama punya mac dan alat perekam. Hei, nama Sigur Rós itu macam nama satu orang?? Dan, kembali saya membuat kesimpulan berdasarkan nama.

Sayangnya, internet saya emang tipe internet limapuluh ribu sebulan, jadi, saya keburu ngantuk online dua jam, downloadan saya masih sepuluh persen aja. Saya putus asa. Saya cancel. Ah, gampang, besok tinggal jalan ke kost Okky bawa flashdisk, ngopilah ke dia. Saya lupa tentang Sigur Rós, whatever.

Sampai, ehm…

Ini dia, saya mendapati nama Sigur Rós di kompilasi dari teman saya ini. Saya langsung memutarnya. Okke, ini post-rock, dengan karakter eksplorasi banyak kemungkinan bunyi dan vokal minim (atau hanya semacam gumam saja), Sigur Rós itu band (bukan hanya satu orang, oke diyah, oke?), dan, mereka dari Islandia. Saya tidak tahu, bagaimana cara membaca judul lagu dalam album mereka ini. Kebetulan saya mendapatkan album Hvarv-Heim (2007).

Saya tertarik pada satu lugu berjudul, “Heysatan”, entahlah, macam “Hei, satan…” gitu. Malam itu, saya ketiduran entah di lagu yang apa… saya terbangun sekitaran jam setengah tiga. Mematikan laptop saya, dan, melakukan hal kecil lainnya. Lalu, tidur lagi.

Esok malamnya, saya mencoba mendengarkan mereka lagi, saya mencari di internet tentang mereka. Saya mencoba mencari lirik mereka, dan mengartikannya dengan google translate. Dan, saya ketawa konyol atas tindakan saya itu. Ah, sudahlah, tadinya saya kira itu bukan bahasa Islandia… mungkin itu bahasa mana… karena dalam bayangan saya, Islandia, Irlandia, Norwegia, itu menggunakan bahasa Inggris… tapi, ternyata benar, itu bahasa Islandia… agak aneh yah, agak senggak seperti orang Rusia atau malah Prancis, atau emang telinga saya aja…

Tapi yang pasti, entah kenapa, terlepas apapun bahasanya, saya waktu itu sempat bilang kalau: Jónsi ini menyanyinya seperti seseorang yang merapal kitab. Khusuk.

Oke, saya keliru tentang Sigur Rós. :) :) :)