“Picking up the
pieces in the world I know;
With one in
the fire and one in the snow;
It’s a
comeback story of a lifetime…”
Dallas, 27
Juli 2011.
Lampu-lampu masih menyala terang. Ratusan pasang mata menatap tajam, mereka
berteriak mengikuti tiap ketukan, sebelum terjadi sedikit keributan. "I'm
gonna go backstage and I'm gonna vomit, I'm gonna drink a beer and I'm gonna
come back out and play three more songs," ujar
si vokalis dari atas panggung. Tapi Caleb Followill, sang vokalis tadi, tak
pernah kembali. Pun 26 panggung selanjutnya, tak pernah ada.
Januari
2010,
Kings of Leon, baru saja meraih Grammy pertamanya: Record of The Year; Best Rock
Performance by a Duo or Group with Vocal; dan Best Rock Song. Mereka juga baru
saja merilis album terbaru. Sayang, tur Amerika-Eropa mereka batal. Band
mendeklarasikan masa hiatus. Rumor berkembang, dari karena Caleb mengalami
masalah suara yang parah, dia harus menjalani masa rehabilitasi untuk
mengurangi ketergantungannya pada minuman beralkohol, hingga bubarnya band.
Agustus
2012, si
bungsu Jared Followill, mengeluarkan single dengan band barunya Smoke and
Jackal. Mungkin Kings of Leon benar-benar akan bubar, atau sudah bubar.
Selesailah sudah cerita tentang tiga saudara dan satu sepupu itu. Dan tentu itu
hanya rumor.
Juli
2013,
radio-radio memutar “Supersoaker”, satu lagu baru Kings of Leon. September 2013, mereka menambahkan satu
album baru dalam catatan diskografinya, “Mechanical Bull” sebagai album keenam.
*****
Saya
lupa apakah saya pernah melihat banteng yang sesungguhnya atau belum. Saya
hanya mengenal rupa banteng dari satu identitas partai politik, seingat saya
ada beberapa partai politik yang menggunakan citra banteng dalam lambangnya.
Entah dengan alasan apa, mungkin biar terkesan keren dan kuat. Lalu bagaimana
dengan mechanical bull?
Tapi
gambaran tentang mechanical bull ini
jelas sudah ketika melihat satu iklan sepatu olahraga asal Amerika. Yaitu semacam
permainan, dimana kita bisa menaiki banteng mainan yang digerakan dengan pir
dan kita seperti sedang menaiki banteng yang sebenarnya. Banteng-banteng
Spanyol yang sedang berlari super cepat mengejar bendera warna merah. Oke, tahu
kan odong-odong yang sering berpindah dari kampung ke kampung itu, nah, mechanical bull ini semacam binatang
plastik yang dinaiki anak kecil itu, tapi berukuran besar seperti banteng yang
sebenarnya dan bisa dinaiki orang dewasa serta dapat diputar dengan sangat cepat.
Itu yang pernah saya lihat. Di iklan, pula.
Tidak
ada penjelasan berarti dari Nathan Followill, Caleb, Jared, ataupun Matthew
Followill tentang alasan pemilihan nama untuk album terbaru mereka. Mungkin
mereka ingin bersenang-senang. Dan kenapa kita harus terlalu serius memikirkan
nama album mereka? Bukankah banyak grup atau penyanyi lain yang memiliki nama
album yang jelek? Ya, dan “Mechanical Bull” ini salah satunya.
Kings
of Leon bisa jadi tak masuk dalam playlist
para hipster. Mereka terlalu mainstream.
Sangat mainstream. Lagu-lagu dengan
lirik diulang-ulang dan terlalu mudah dihafal. Tipe band yang akan membuat lagu
yang akan diputar di radio berkali-kali. Dan meskipun lagunya tentang laki-laki
yang tanpa tujuan hidup, perempuan-perempuan baik-baik tetap akan menghafal
lagu mereka. Mereka terlalu banyak memiliki fans dan nggak spesial lagi, karena
sekali menyebut namanya, sudah terlalu banyak orang yang mengenal mereka.
Apalagi mereka pernah meraih Grammy. Vocalist-nya menikahi model Victoria
Secret, drummer-nya menikahi penyanyi solo yang cantik dan bersuara nyaring,
bassist-nya menikahi model dan aktris cantik juga, sementara guitarist-nya
menikahi semacam ratu gigs Inggris yang biasa berkencan dengan bintang rock.
Mereka terlalu sering muncul di majalah dan portal gosip: mereka dan
kekasih-kekasihnya sedang ngapain, di mana, pesta siapa, baju apa dikenakan
siapa, dan hal-hal semacamnya. Kings of Leon benar-benar bintang rock mainstream.
Pun
“Mechanical Bull”. Begitu mudah untuk jatuh suka pada 13 lagu di album bernama
aneh ini. Formula paten yang sepertinya mereka dapatkan dari “Only by The
Night”, an awards winner album. Nada-nada
up-beat dan suara cepat Caleb misalnya, dapat dengan mudah kita jumpai seperti
pada “Supersoaker”, “Don’t Matter”, “Temple”, “Tonight”, dan “Coming Back
Again”. Dan nomor-nomor manis bertempo pelan yang bercerita tentang cinta atau
hidup, seperti dalam “Wait for Me”, “Beautiful War”, “On The Chin”, “Last Mile
Home”, dan “Comeback Story”.
Seperti
halnya kita pernah jatuh suka dengan “Sex on Fire” yang terasa berbeda dan begitu
Kings of Leon, kita akan menemukan rasa yang sama pada “Rock City”, dan “Family
Tree”. “I was running through the dessert/ I was looking for drugs/ and I was
searching for a woman who was willing to love/” menjadi kalimat pertama
dalam “Rock City”, satu nomor pendek yang dibuka dengan ketukan drum dan
dominan suara bass yang menyenangkan. Intro yang membuat kita penasaran untuk
mendengarkan akan ada nada apa selanjutnya.
Dalam
salah satu wawancara, Jared pernah mengungkapkan jika album teranyar ini
menjadi semacam flash-back. Nantinya
akan ada beats serupa yang pernah
mereka buat di album-album terawal. Dan seketika kita akan mengingat “Talihina
Sky”, “Taper Jeans Girl” atau “Knocked Up” dari album sebelumnya.
Kritikus
menyebutnya sebagai bagian dari Southern Rock, rock rasa Amerika bagian Selatan
yang subur dan memiliki sinar matahari lebih banyak. Perpaduan antara rock n
roll, country, dan blues yang disatukan oleh suara vokal yang terdengar jelas.
Pada titik yang sama, kita memang akan dengan mudah mengingat suara Caleb.
Meski kadang ia menyanyi dengan pelan, bergumam, cepat dan terburu-buru,
setengah berteriak, atau bahkan berteriak. Suara itulah yang menyatukan
dentuman drum Nathan, petikan gitar Matthew, dan suara bass Jared. Pun dalam
nomor-nomor panjang, kita menunggu sampai suara Caleb muncul dan lalu berhenti
atau menghilang lagi dan lalu menunggu teriakannya lagi sampai habis. Dan
akhirnya, suara Caleb menjadi nyawa Kings of Leon .
Tak
heran, “Mechanical Bull” menjadi begitu ditunggu pasca rehat panjang mereka.
Caleb bernyanyi lagi. Tak ada masalah dengan suaranya. Selintas, justru menjadi
lebih matang. Kings of Leon menjadi lebih matang. Lihat saja bagaimana Caleb
menulis lirik-lirik di sana. Tak lagi melulu bercerita tentang membawa kabur
anak gadis orang. Di sini, Caleb seperti sedang bercerita, terutama tentang
rehat mereka dan bagaimana mereka memperbaiki semuanya.
“It was almost
like he didn’t feel comfortable enough telling us face to face how he felt but
he would put it in the lyrics and get up and sing it all day long,” cerita
Nathan, dalam
salah satu wawancara dengan Neil McCormick dari The Daily Telegraph. Mereka
kembali, bukan untuk mengharap Grammy atau penghargaan lainnya, yang dulunya
juga tak pernah mereka bayangkan. Mereka adalah saudara yang bermusik bersama
dan bersenang-senang bersama. “I’m your
family tree/ I know you A to Z/ This is a secret preposition lay your hands on
me/”, tulis Caleb dalam “Family Tree”.
Nathan
(34) lahir lebih awal di antara semuanya. Menyusul Caleb (31), Matthew (28)
sang sepupu, dan Jared (26). Nathan dan Caleb kecil selalu berpindah dari satu
tempat ke tempat lain mengikuti ayah mereka, seorang pendeta Gereja Pentakosta.
Mereka biasa bermain musik untuk acara gereja. Mereka tak sekolah di sekolah
umum, diajar langsung oleh ibu mereka dan tak pernah tahu banyak lagu-lagu yang
hit kala itu. Begitu mereka sedikit lebih besar, mereka mulai mendengarkan
banyak lagu, seperti The Rolling Stones, The Clash, juga The Strokes.
Jared
masih duduk di sekolah menengah atas dan belum bisa bermain bass, ketika Nathan
dan Caleb mendapat tawaran dari salah satu label rekaman. Lalu mereka
‘menculik’ Matthew, sepupu mereka yang tinggal di Oklahoma untuk bergabung.
Mengambil nama kakek mereka, Leon, lahirlah Kings of Leon di tahun 1999. Sebuah
EP lahir berisi empat lagu lahir empat tahun kemudian. Menyusul satu album
studio pertama mereka, “Youth and Young Manhood”.
Meski
berangkat dari Nashville, Tennessee, tempat di mana legenda seperti Elvis
Presley dan Johnny Cash merekam hit-hit mereka di sana dan rock n roll mulai
berkembang di era 50-an, tapi Kings of Leon tak mendapat respon baik di sana.
Mereka harus terbang jauh melewati samudera hingga ke Eropa untuk diterima. Album
mereka hanya terjual sekitar 100.000 kopi di Amerika, dan lebih dari 750.000 kopi
di luar Amerika. Media Eropa pun menyukai mereka. NME menyebutnya sebagai salah
satu album debut terbaik dalam 10 tahun terakhir dan The Guardian
menyebutnya sebagai "the kind of
authentic, hairy rebels The Rolling Stones longed to be." “Trani”,
“Molly’s Chamber”, “Holly Roller Novocaine”, dan “Talihina Sky” menjadi hit
kala itu. Rambut semua personil terurai panjang, kumis dan jenggot dibiarkan
tak beraturan, dengan celana kebesaran dan kaus kekecilan memperlihatkan
sebagian perut mereka, mereka seperti band rock yang terlempar dari dekade
80-an.
Satu tahun kemudian, lahirlah “Aha Shake Heartbrake”. Kembali
Kings of Leon menghadirkan 13 lagu, dengan “Taper Jean Girl”, “The Bucket”, dan
“Four Kicks” yang juga menjadi hit. Juga album di mana “Milk” dan “Rememo” yang
asik lahir. Di masa inilah, mereka mulai menjadi band pembuka musisi legenda
dan besar lainnya, seperti Bob Dylan dan Pearl Jam. Caleb masih belum tahu
bagaimana caranya menyapa penonton, pun personil lainnya. Ia lebih senang
bernyanyi dengan melihat janggutnya yang tumbuh semakin panjang, daripada
melihat lurus kea rah penonton di depannya. Dan gaya mereka masih sama, malah
cendrung semakin terlihat norak.
Di tahun 2007, “Because of The Times” hadir sebagai album ketiga
yang terjual lebih dari 70.000 kopi di minggu pertamanya. Kembali, tiga belas
lagu mengisi penuh satu album ini. Diantaranya, nomor panjang “Knocked Up” yang
selalu menjadi lagu wajib ketika mereka tampil live. Bisa dibilang, di sinilah sisi rock dan kerasnya Kings of
Leon terekam jelas. Dengar saja nomor lain, seperti “On Call”, “Black
Thumbnail”, “My Party”, “Ragoo” dan “True Love Way”. Di sini pula, hadir “Fans”
dan “Arizona” yang cukup manis.
Perjalanan panjang mereka nampaknya terbayar dengan hadirnya album
keempat, “Only by the Night” dan segala pencapaiannya. Nomor ballads “Use
Somebody” menjadi hit nomer satu di banyak tangga lagu. Single keduanya, “Sex
on Fire” lebih melejit dari sekedar menjadi hit. Dan inilah ketika publik
Amerika kebanyakan, dan lalu dunia, benar-benar mengenal mereka. Penghargaan
tertinggi Grammy dan beberapa penghargaan lain di tahun itu, seperti BRIT
Awards berhasil mereka taklukan. Single lainnya, “Revelry”, juga menjadi salah
satu hit, terutama di Australia. Jika tak salah mengingat, “Manhattan” juga
hadir di salah satu episode Gossip Girl. Jangan lupakan nomor lain, seperti
“Notion”, “Be Somebody”, “17”, dan “Cold Dessert” yang tak kalah enak untuk
dinikmati. Kings of Leon digadang-gadang untuk menjadi salah satu band rock
terbesar dekade ini. Mereka tak lagi menjadi band pembuka, sejak saat itu,
mereka menjadi line up di panggung
utama festival-festival besar.
Dan Glastonburry pun menanti. Inilah masa ketika jadwal tur begitu
padat dan mereka terlalu bosan untuk memainkan lagu-lagu lama. Beberapa meteri
baru pun lahir. Mereka meramunya di antara jadwal padat dari satu panggung ke
panggung lainnya, antar negara, antar benua. Juga masa ketika majalah-majalah gosip
memotret mereka sedang bergandengan tangan atau berciuman dengan supermodel dan
perempuan-perempuan terkenal lainnya. Materi-materi baru itu mereka matangkan.
Dan lahirlah “Come Around Sundown” pada 2010.
Dibayangi kesuksesan album sebelumnya, “Come Around Sundown”
seperti menjadi titik balik. Publik menginginkan “Sex on Fire” yang lain,
sementara Kings of Leon menghadirkan nomor matang nan panjang macam “Pyro”.
Penjualan tak sebesar yang diharapkan, meski materi mereka bagus dan mendapat
banyak pujian. Dengar saja “The End”, “Radioactive”, “Back Down South”,
“Birthday”, “No Money”, dan tentu saja “Mi Amigo”. Dan di masa tur promo album
inilah, Caleb turun panggung, tak pernah kembali, dan sisa tur dibatalkan.
Tentu tak mudah bagi satu band dengan segala gelimang pujian dan
tengah berada di puncak ketenaran, ketika harus meminta maaf kepada penonton
yang tengah menonton mereka, bahwa show mereka berhenti. Penonton kecewa,
kritikus mulai mencaci.
Tapi justru itulah masa ketika Kings of Leon kembali menjadi
manusia. Di saat yang sama, dokumenter tentang mereka, “Talihina Sky: The Story
of Kings of Leon” yang disutradarai oleh Stephen Mitchell hadir. Tak hanya
sekedar merekam gegap gempita rock star
di balik panggung sebuah festival besar, “Talihina Sky” mengajak penonton
mengenal akar lahirnya band ini.
Menuju Talihina, Oklahoma, di mana semua klan Followill berkumpul.
Keluarga biasa dengan kebun luas dan rumah kayu sederhana, juga beberapa
wawancara. Kisah-kisah masa kecil mereka, masa remaja, hingga mereka menjadi
besar. "I thought, If I'm
going to be a preacher, I'm going to have a second job because my kids will
never live like this,”
ujar Caleb saat bercerita tentang masa kecilnya yang tak begitu menyenangkan.
Sayang, saya belum melihat dokumenter ini hingga habis. Karena di Youtube saya
hanya sempat melihat bagian awalnya saja.
Tapi,
seperti halnya penggemar yang tak terlalu suka dan masih menyimpan kecewa atas
kelakuan Caleb, sambutan atas dokumenter ini pun tak terlalu bagus. Seperti
hanya sekedar video panjang tentang satu bintang di MTV.
Penggemar
terlalu kecewa.
*****
Waktu
itu sekitar tahun 2008 atau 2009, saya lupa. Sebelumnya, “Use Somebody” sudah
sangat sering diputar di radio dan saya cukup menyukainya. Tapi malam itu, saya
sedang liburan di rumah dan tak bisa tidur sampai malam. Beruntung di tivi,
kalau tidak salah Indosiar, sedang memutar ulang tayangan BRIT Awards, (KOL
menang BRIT tahun 2009, oke, jadi mungkin tahun 2009-an awal, libur semester
kali yah?). Gulung-gulung di kamar sendirian, saya menonton itu BRIT awards,
nanti bakalan ada Coldplay katanya. Saat itu ada Adele membawakan “Chasing
Pavements”, ada Duffy membawakan “Warwick Avenue” juga. Dan ada beberapa band
besar lainnya, Coldplay-nya agak akhir-akhir. Dan di antaranya, setelah
menerima penghargaan entah untuk kategori apa, Kings of Leon membawakan “Use
Somebody”. Man?
Beberapa
hari kemudian, saya sudah memiliki “Only by the Night”, dan tiga album lainnya.
Waktu itu, hanya Nathan yang masih membiarkan rambutnya memanjang berantakan
dan tiga lainnya terlihat lebih rapi. Tak dibutuhkan waktu lama untuk menyukai
“Only by the Night”, meski dibutuhkan waktu cukup banyak untuk bisa mencerna
semua album mereka. Pertama, saya asing dengan lagu-lagu rock dengan riff gitar
panjang dan ketukan drum yang terlalu menghentak. Kedua, ini liriknya kampret
banget, maksudnya apa coba?
Lalu
saya mencari tahu lebih banyak tentang mereka. Oke, Kings of Leon itu beda
dengan Kings of Convenience. Ok, mereka ganteng-ganteng juga. Ok, waktu itu Jared
macarin Ashley Greene. Oke, vokalisnya pacarnya model. Ok, gitarisnya nikahin
mantan pacarnya Alex Turner, Arctic Monkeys yang dulu bikin “Fluorescent
Adolescent” bareng. Ok, Nathan ini kampret kerennya dan pacarnya penyanyi juga,
cantik juga, namanya Jessie Baylin. Oke.
Sesekali
memutar lagu mereka dan senang dengerinnya. Lalu muncul album kelima mereka,
“Come Around Sundown” yang membuat saya semakin sering memutar lagu mereka.
Dan, ya, saya suka mereka. Pada level yang sama saya tergila-gila Coldplay,
sebelumnya.
Tapi
ada yang beda dengan mereka. Secara tidak sengaja saya seperti sedang belajar
membaca pola pikir laki-laki bersama lagu-lagu mereka. Jika mau sedikit
menyempatkan waktu luang dan mau memperhatikan satu per satu lagu mereka dari
album pertama hingga album kelima, kita akan menemukan laki-laki yang sedang
tumbuh dewasa. Tentu ini opini saya saja, tapi begitulah yang saya lihat. Atau
mungkin saya aja yang kurang kerjaan.
Kita
tidak akan menemukan kalimat macam, “She
don’t care what her momma says/ No, she’s gonna have my baby,” seperti
dalam “Knocked Up” lagi. Dan mulai menemukan kalimat-kalimat macam, “All the black inside me is slowly seeping
from the bone/ everything I cherish is slowly dying or it’s gone,” seperti
dalam “Pyro”. Ya meski tidak semuanya sih, maskudnya, hampir di semua album
mereka selalu terselip hal-hal yang, ehm, mungkin saya akan menyebutnya sebagai
hal-hal yang cowok inginkan. Agak-agak nakal dan rock n roll gitu sih. Oke,
baiklah, cowok alim tidak mungkin nyanyiin “Sex on Fire” si kayaknya. Tapi ya
sudahlah, yaaah…
Dan
yang pasti, Kings of Leon ini, mau album apa aja, paling enak didengerin kalau
pas naik Transjakarta, nyuci baju dan sebelum tidur. Naik Transjakarta kan
agak-agak perjuangan yah, jadi perlu lagu yang agak keras dan bikin kita tetap
bangun. Terus, nyuci baju, saya juga lupa sejak kapan saya mulai dengerin
mereka pas nyuci baju. Karena ngucek baju itu menyenangkan, perlu lagu yang
up-beat juga. Dan saya senang mendengerkan mereka ketika mencuci baju, tanpa
alasan. Dan mejelang tidur, saya juga lupa sejak kapan mulai memutar mereka
untuk pengantar tidur. Tidak selalu sih, tapi suara Caleb ini benar-benar suara
pengantar tidur… setidaknya bagi saya. Begitu…
Kings
of Leon menjadi satu pemusik yang saya sukai tanpa rekomendasi siapa pun. Saya
menemukan mereka tanpa sengaja. Saya mencari tahu tentang mereka bukan karena
alasan biar ada obrolan yang nyambung karena sedang dideketin siapa gitu misalnya.
Karena saya mau mendengar dan menyukai The Beatles sebenarnya awalnya karena
paksaan. The Beatles lohh yah? Tapi tidak Kings of Leon. Mungkin karena itulah
mereka menjadi spesial.
KOL kini |
Hal
itu juga sepertinya yang membuat saya menulis sepanjang ini padahal seharusnya
saya mandi dan menuju stasiun untuk menukar tiket kereta. Awalnya saya hanya
ingin bercerita tentang bagaimana “Mechanical Bull” itu bagus, walaupun nama
albumnya aneh.
Saya
senang ketika akhirnya Kings of Leon mengeluarkan album baru. Teman-teman
terdekat saya tak ada yang begitu tertarik dengan mereka. Sampai sekali-kalinya
ada teman yang bertanya kenapa saya suka Kings of Leon, saya menjelaskannya
panjang lebar, panjang sekali, sampai kawan saya itu sepertinya bosan mendengar
saya bercerita. Pun begitu ketika mbak kost baru saya, maksudnya, mbak kost
saya sekarang di Jakarta yang kamarnya bersebelahan dengan kamar saya, dia
sempat bilang, “Itu lagu-lagunya Isa Raja, ya?” Jawab saya dengan nada nyolot,
“What, mbak? Bukan! Isa Raja tuh yang suka mereka, Isa Raja pernah bawain satu
lagu mereka waktu di panggun X-Factor!” Dibilangnya suara Caleb mirip Isa Raja.
Iya si, emang agak mirip. Sampai sekitar Juli lalu saya punya anak magang (yoi,
anak magang saya, hahaha), yang seumuran dengan saya dan kita ngobrolin
lagu-lagu baru, salah satunya “Supersoaker”. Ternyata dia mendengarkan Kings of
Leon. Dan “Supersoaker” itu kan seru yah. Disusul single “Wait for Me” yang
ehehem banget. Beberapa minggu yang lalu saya mendapatkan album baru mereka. Lengkap
13 lagu. Dan saya ingin bercerita tentang mereka, tapi saya bingung juga harus
membahas mereka dengan siapa. Jadi akhirnya saya menulislah lagi.
*****
Dalam
salah satu review yang saya baca, New York Times (kalau tidak salah), menyebut
masa mereka sepertinya sudah akan habis. Terutama dengan hadirnya “Beautiful
War”, satu nomor yang mereka anggap bagus dan mungkin mereka tidak akan mampu
membuat hal yang sama lagi. Kurang lebih seperti itu, itu juga kalau saya tak
salah memaknai kalimatnya. Saya pikir, apa hak mereka mengatakan masa mereka
akan habis? Saya ingin menganggap itu pujian, tapi rasanya kok terlalu sinis
yah? Oke, baiklah mereka kritikus. Seperti terserah saya mau nulis apa di sini,
terserah juga mereka mau bicara apa juga si, sebenarnya.
Tapi
maksud saya, kalimat itu pernah dilontarkan ketika Kings of Leon membuat “Come
Around Sundown” dan tak ada lagi lagu sebesar “Use Somebody”. Dan nyatanya
mereka tatap bisa mengolah materi baru dan lebih segar dari sebelumnya. Meski
Caleb mengakui bahwa ia menulis “Beautiful War” di balik halaman ia menulis
“Use Somebody”, tapi mereka menyimpannya hingga album ini.
Kita
tidak pernah tahu seberapa besar energi yang seseorang simpan sampai mampu
membuat karya sampai ia berhenti membuat karya, sama sekali. Bagaimana jika
ternyata “Mechanical Bull” menjadi legenda di kemudian hari. Atau bahkan album
ketujuh mereka nanti. Kita tidak pernah tahu.
Bagi
saya, “Mechanical Bull” ini seperti kabar gembira. Bahwa band yang dulunya
katanya bisa menjadi yang terbesar di masanya, ternyata bisa saja melakukan
kesalahan. Dan mereka tak lagi peduli akan hal itu. Mereka tak lagi
berkspektasi berlebihan atas satu penghargaan dan pujian. Dan, album ini tidak
jelek. Sungguh tidak jelek. Bagus malah. Seperti kawan baik yang lama tak
berjumpa, dan pada satu hari kita menerima suratnya, lalu ia bercerita… “Hai, aku baik-baik saja dan sangat
bahagia. Kalau kamu bagaimana? Semoga kita merasakan hal yang sama.”
“You’ll
rue the day when you understand;
I did
my best to be an honest man, race isn’t over to the finish line;
It’s a
comeback story of a lifetime…”
(Comeback
Story – Mechanical Bull, Kings of Leon, 2013)
PS:
Beberapa bahan dan catatan
saya baca dan peroleh dari Rolling Stone, Rolling Stone Indonesia, NME, New
York Times, Daily Telegraph, The Guardian, The Newyorker, Blog Perez Hilton,
tumblr fansbase KOL dan keluarganya, Youtube, dan tentu saja Wikipedia. Enam
album mereka dan mereka.
No comments:
Post a Comment