Nyatanya,
saya besar di masa ketika melihat jauh entah ke mana justru membuat saya
kembali ke dalam diri saya. Meski saya tidak tahu siapa yang ada di sana. Halah,
drama.
Maksudnya, kenapa
saya tidak pernah nge-fans sama istri ustaz saya sejak kecil lalu menjadi ingin
seperti dia. Tapi saya malah ngefans sama Alexa Chung dan rasanya kayak ikut
cemburu pas si Alex Turner punya pacar baru yang nggak lebih cantik dari Alexa.
Oke, ini lebih drama.
Semua ini
gara-gara majalah gadis mbak sepupu saya yang saya baca sejak SD. Gara-gara TV.
Gara-gara iklan. Gara-gara lagu. Gara-gara film. Lagi, gara-gara majalah. Gara-gara
saya nggak mau baca Ayat-Ayat Cinta. Saya lagi dapet, hari pertama, jadi nggak
usah protes kalo saya drama banget.
Sebenarnya saya
cuma posting beberapa nama yang, gara-gara mereka saya nggak kenal siapa saya. Yuk,
mar, ciiiint…
Srintil – Ronggeng Dukuh Paruk oleh Ahmad
Tohari
Saya membaca
buku ini ketika saya masih SMP. Percaya atau tidak, saya melihat jiwa Srintil
pada seorang kakak kelas yang dia juga penyanyi dangdut. Latar cerita Ahmad
Tohari kental dengan budaya Banyumasan, budaya yang sama dengan tempat tinggal saya
ketika besar. Saya suka nangis-nangis sendiri kalau baca buku-buku beliau. Karena
saya melihat karakter-karakter itu ada di sekitar saya. Biduan remaja rebutan
semua pria, petani-petani biasa tanpa banyak pilihan, penyadap nira yang bisa
meninggal kapan saja, orang-orang desa yang mendapat pendidikan ala kota yang
lalu berjarak dengan tanah kelahirannya (salah satunya saya), pejabat-pejabat
desa yang juga korup, proyek-proyek tak kunjung usai yang hanya nampak untuk
diresmikan pejabat kota, dan lainnya.
Dan tentang
Srintil. Seharusnya setiap orang punya pilihan, menurut saya. Srintil menjadi
gila, dalam arti yang sebenarnya, karena tak punya banyak pilihan. Saya tidak
mau seperti dia.
Matilda – Matilda oleh Roald Dahl
Tidak semua
orang tua itu sempurna. Tidak semua anak itu tidak tahu apa-apa. Saya belum
namatin buku-buku yang dibaca Matilda. Tapi saya udah berkali-kali nonton
Pride&Prejudice sih. Kisah Matilda itu ajaib banget bagi saya. Saya nggak
ngebayangin kalau Matilda gede bakal jadi kayak apa…
Nyai Ontosoroh – Tetralogi
Buru Pramoedya
Aktris Happy Salma memainkan monolog sebagai Nyai Ontosoroh |
Apah kata si
Nyai, “Kita telah melawan, Nak, Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya." Duhdeh, saya malah merasa Minke tidak
akan sehabat itu, kalau nggak ada Nyai Ontosoroh. Setidaknya secara mental,
menurut saya loh yah. Melihat perjalanan hidup si Nyai juga bikin saya: gila
dia kuat banget. Karakternya sangat mengagumkan, saya bingung juga
mendeskripsikannya gimana. Dan jika harus mencari sosoknya di dunia nyata, saya
akan memilih ibu saya sendiri, sebagai seseorang yang “selalu melawan”, kuat,
dan pembimbing yang baik.
Jenny Mellor – An Education;
Diperankan oleh Carey Mulligan; Disutradara oleh Lone Scherfig; Memoir Lynn Barber
Jenny (atau
masa muda dari Lynn), itu adalah separuh saya ketika usia saya 16 tahun. Ada
semacam pengalaman emosional yang membuat saya merasa bahagia banget bisa
melihat An Education, saya sampai pengen banget kirim surat ke Lynn Barber. "The life I want, there's no schortcut," katanya.
Peggy Olson – Mad Man; Diperankan oleh Elisabeth
Moss; Ditulis oleh Matthew Weiner
Saya baru
menonton Mad Man beberapa bulan lalu. Iya, Peggy adalah seorang copywriter. Yang
tidak pernah punya niatan menjadi copywriter, sama, saya juga. Mulai bekerja di
usia hampir sama. Meski mungkin tekanannya beda. Saya tahu banget rasanya harus
menjadi satu-satunya perempuan di antara laki-laki dengan segala obrolan dan
imaji dan dunianya. Dan ternyata saya nggak harus jadi seperti laki-laki kok.
Saya semakin percaya pentingnya sudut pandang seorang perempuan dalam melihat
perempuan lain, atau perempuan pada umumnya. Seandainya saya nanti mengerjakan
kampanye tertentu, saya harus tahu bagaimana untuk memosisikan sosok perempuan.
Ya, di mata saya Peggy ini agak-agak feminis, dibanding semua karakter lain di
serial ini.
You dalam lagu “Yellow” Coldplay
“You know, I love you so”. Cukup
menjelaskan kan yah.
She dalam lagu “Girl” The Beatles
She's the
kind of girl you want so much; She will turn to me and start to cry; She's the kind of girl who puts you down. Semua perempuan ingin menjadi dia. Saya yakin. (kalo nggak salah
memaknai ni lagu, saya sering salah memaknai lagu soalnya)
Gabrielle “Coco” Bonheur Chanel
Kenyataan bahwa
Coco Chanel ternyata awalnya adalah bukan siapa-siapa, menjadi salah satu
kenyataan paling indah yang saya tahu. Man, kerja keras itu nyata. Keberuntungan
itu benar-benar ada. Bahkan bisa jadi legenda.
Kartini
Rukmini dan Kartini |
Awalnya saya
sinis sama Kartini. Tapi sejak menginjakkan kaki di Museum Kartini di Rembang,
yang notabene adalah rumah tinggalnya setelah dipersunting Bupati Rembang, yang
ada hanya satu: miris. Pertama, bahkan Kartini, dengan segala kelebihan dan
keterberiannya, tidak punya pilihan lain selain bersedia menjadi istri utama
yang kedua di antara beberapa selir. Berkamar besar disertai kamar mandi dengan
bathtub di masanya. Sementara, tak
lebih dari 100 meter, berjajar lima kamar selir, perempuan lain yang juga
sama-sama tak punya pilihan, untuk saling berbagi satu lelaki. Ah, damn! Sore itu, setelah melihat-lihat,
saya duduk lemas bingung sendiri di serambi barat museum. Kedua, Kartini kini
dicintai dengan pesta diskon di pusat perbelanjaan, saya nggak ngerti kenapa,
tapi kita juga tak punya banyak pilihan untuk melepaskan diri dari kegetiran
ini. Ketiga, Kartini jarang sekali tersenyum dalam foto-fotonya. Ah, saya
menyesal pernah nyinyir dan sinis padanya.
Alexa Chung
Saya melihat
seorang perempuan cantik yang sadar dia cantik, tapi dia tidak mau didikte atas
segala kecantikan yang dia punya. Kenyataan kalau Alexa menjadi salah satu muse Karl Lagerfeld bagi saya sudah
cukup final untuk menunjukkan kalau dia bukan sekedar manekin hidup. Alexa menunjukkan
dirinya dengan cara yang berbeda dengan Marilyn Monroe, Madonna, atau Kate Moss.
Berani, tapi tidak bitchy. Pokoknya
yah, semoga Alexa Chung balikan sama Alex Turner lagi ya Allah… amin.
Huma Abedin
Keturunan muslim,
di samping Hillary Clinton. Ciyus? Ulasan
panjang di New York Times, tentang bagaimana Huma bersikap atas segala
kekampretan Anthony Weiner, suaminya, membuat saya tidak siap jadi istri
pejabat. Tapi Huma bergeming. Pers menyebutnya Hillary kedua, pasca
terbongkarnya kisah Bill dan Monica Lewinski. Bisa jadi, karena bahkan bagi
Hill, Huma sudah seperti putrinya sendiri. Saya nggak tahu apa Weiner menang
menjadi mayor di New York (walikota
apa gubernur, bdw? Kan di sana state
gitu kan? Saya agak-agak nggak mudeng juga), terakhir saya baca, kalau Weiner
menang, tidak lain tidak bukan adalah karena Huma. Saya kira, Huma adalah salah
satu perempuan yang punya sikap. Sebelas-duabelas sama Sefti Sanustika lah, yah…
duerrrr, tidaak!!
Sementara ini
yang saya bisa ingat dalam waktu cepat. Saya pengen nulis Dian Sastro, tapi
saya nggak ngerti lagi harus nulis dia gimana, apa karena film-film dan iklan-iklan
dia itu agak-agak girl power dan mother-power a la Indonesia gitu? Atau apa? Saya nggak ngerti, jadi saya
putuskan untuk tidak menuliskannya secara spesial. Begitupun karakter Summer,
dalam “500 Days of Summer”, saya kira itu terlalu sempit membahas tentang
nyakitin cowok, dan kerasa pernah bikin sakit cowok itu menyakitkan, bikin
merasa jadi orang penting padahal nggak, bikin merasa jadi sesuatu padahal juga
nggak, bikin merasa bersalah dan tak tahu harus berbuat apa, ini iya. Summer
ini jahat, tapi perempuan juga sekali-kali harus jahat. Karena laki-laki kadang
juga jahat. Huh!
Ah, yang
pasti nih yah: saya pasti tidak akan mungkin dilirik mas-mas alim karena tidak
menuliskan Siti Khadijah nih. Tapi begitulah adanya.
hmmmm, akhirnya di tulisan inilah saya menemukan jawaban dari sms yg belum terjawab hingga sekarang:
ReplyDelete"mengapa cewek2 pengen menjadi seperti Summer dalam film 500 Days of Summer?"
hhha, dan obrolan ttg summer berakhir agak saling bersebrangan. hha, iya mas, summer PHP-in tom hansen. tapi ya emang begitulah...dan kapan lagi nglihat itu di film. "pada suatu pagi, aku bangun, dan berfikir: aku nggak mungkin hidup dengan orang seperti kamu", nah!
Delete