“We now have a culture in which people are frightened of
what the future might hold and are terrified of taking risks”
Do we?
Saya mendapatkan tautan menarik hingga ke tulisan ini. Tulisan yang
seketika mengingatkan saya, pada obrolan dua hari lalu dengan Sinta. Di dalam
taksi, dari buka puasa bersama yang kemalaman, dan bicara banyak hal seperti orang mabuk,
padahal tidak, tiba-tiba Sinta bilang: “Aku merasa tua…”
Yang saya jawab dengan: “Ooh, fuck!”
Marianne Power, si penulis catatan tentang generasi yang menolak menjadi
dewasa, dia 34 dan tinggal di London. Sinta, kawan saya, dia baru ulangtahun
April lalu, meski saya agak lupa, dia baru 24 atau 25, dan dia merasa tua. Waktu
itu saya tidak bisa memberi jawaban apapun, tapi mungkin sekarang saya akan
bilang, “Mungkin karena kamu anak pertama, Nta…”
Ketika membaca kolom-kolom catatan dari media luar, sering muncul di
kepala saya: apa yang terjadi di sana adalah sekitar satu, dua, tiga, empat,
atau bahkan lima dekade dari yang saya rasakan sekarang. Sebagian. Setidaknya tentang
pola pikir. Atau maksudnya saya. jika Marianne Power membandingkan hidupnya
sekarang dengan ayahnya, maka generasi saya di sini, sebagian generasi saya di
lingkungan yang saya kenal, adalah potret dari ayahnya. Menikah di awal 20-an,
mulai membeli rumahnya sendiri, mulai memiliki bayi-bayi lucu, memilih
pekerjaan dengan gaji sebesar-besarnya, dan sederet rencanan matang nan mapan
lainnya.
Saya sendiri, saya menginginkannya. Saya udah ngiler banget pengen punya
anak kalau lihat anak-anak. Namun sayangnya, entah karena apa saja, saya
seperti memiliki standar ganda. Seperti misalnya, ngapaian nikah cepet-cepet
kalau masih bisa nglakuin banyak hal yang saya pengen, yang kemungkinan besar
hal-hal itu nggak mungkin saya dapatkan kalau saya udah nikah. Bisa jadi,
itu adalah hasil dari hal-hal yang diserukan dalam semangat “girl
power” yang saya dapatkan sejak membaca Gadis. Cewek itu kudu aktif,
berani ngomong apa yang ada di pikiran kita, berani nglakuin yang kita mau, dan
lain-lain, dan lain-lain. Bisa jadi, termasuk menyuarakan untuk menunda
menikah, atau bahkan menolak menikah.
Tapi nyatanya, saya sendiri lahir dan besar dengan ide tentang: pada
akhirnya setiap gadis kecil akan besar, menikah, dan punya anak. Bahkan sampai
sekarang saya percaya, takdir saya adalah menjadi ibu (dan otomatis menjadi
istri). Saya besar dengan segala ketentuan-ketentuan yang sudah disepakati
bersama. Misalnya, ketika ayah saya tahu saya belum punya pacar, wajahnya
mendadak heran. Saya tahu, dia akan sedikit repot-repot mencarikan “jodoh” buat
saya, sama seperti dia juga mencarikan tempat bekerja selepas saya wisuda,
meski tidak terang-terangan. Baginya, seorang perempuan harus menikah. Iya,
saya pribadi juga setuju, kalau saya harus menikah. Namun sayangnya, dan ini
bisa jadi terjadi di mana saja, dalam ide tentang “harus menikah”, selalu hadir
perbandingan, misal “Lihat si itu, dia sudah seumuran bapak dan belum menikah.
Orang-orang menyebutnya perawan tua, dan bapak nggak pengen kamu begitu.” Ya,
di lingkungan orang tua saya, mungkin umur 26 juga akan dibilang perawan tua,
sepertinya. Dan itu menjadi mitos tersendiri, lebih angker dari kuburan tempat pemujaan yang katanya bisa bikin kaya. Waktu itu saya menjawabnya dengan, “Mungkin dia bahagia nggak
menikah Bapak. Kita lihat saja, banyak orang menikah muda, tapi mereka juga
bercerai muda. Bapak juga nggak pengen Diyah kayak gitu kan?” Sepertinya ayah
saya setuju dengan pendapat balasan dari saya.
Kegelisahan ayah saya sederhana. Kawan-kawan sekolah saya, anak-anak
kawannya yang seangkatan saya, satu per
satu mereka menikah. Mereka lulus kuliah, bekerja, dan lalu menikah. Sementara
saya, lulus kuliah telat satu setengah tahun, boro-boro merancanakan
pernikahan, pacar saja tidak punya. Bahkan dia sempat menanyakan pacar-pacar
jaman saya sekolah, mungkin dia berharap saya balikan sama salah satu dari
mereka dan menikah. Tinggal tak terlalu jauh dari rumah orang tua saya,
sehingga mereka bisa menjenguk cucu kapan saja. Gambaran sederhana tentang masa
tua bahagia, bagi orang tua saya.
Beruntung ayah saya tidak pernah menekan, secara langsung. Mungkin karena
jurus ampuh ibu saya yang dengan enteng menjawab: “Diyah itu dua tahun lebih
muda dari mereka, jangan dulu disuruh-suruh menikah. Menikah juga kan nggak
gampang.”
Saya terselamatkan dengan kenyataan bahwa saya kebetulan lebih muda satu
setengah atau dua tahun, dari usia rata-rata kawan sepermainan dan seangkatan. Tapi
justru inilah yang membahayakan, karena hal ini membuat saya merasa berhak
untuk melakukan hal-hal yang tidak lebih dewasa dari mereka. Kalau saja saya
tidak punya adik kecil, bahkan mungkin saya tidak akan pernah merasakan rasanya
untuk peduli, melindungi, atau bertanggungjawab. Karena, saya merasa lingkungan
pertemanan saya memberi saya kesempatan untuk menjadi paling kekanak-kanakan di
antara yang lain. Tapi hal ini tidak berlaku ketika saya berada di lingkungan
keluarga, karena saya seorang kakak.
Lagi, ada dua hal yang saling bersisian dalam diri saya.
Saat saya bercerita tentang kenyamanan itulah, Sinta bilang dia merasa
tua. Bukan hal aneh bagi saya, untuk mulai terlibat dalam obrolan-obrolan
panjang tentang pernikahan, pekerjaan, dan sekitarnya dengan kawan-kawan saya.
Standar pertama saya tentang, perempuan yang ditakdirkan menjadi ibu, terwakili
saat saya berbicara panjang tentang pernikahan dengan kawan-kawan seangkatan
yang mulai merencanakan pernikahan. Mereka bersama dengan kekasih-kekasih
mereka sudah lama, sekarang sudah mulai bekerja, saya tidak kaget jika kata “Tahun
depan,” “2 tahun lagi”, “3 tahun lagi”, “Abis S2”, “Abis abis kontrak DP”, terucap
dari mulut mereka. Standar saya tentang, dapetin apa yang kamu mau, akan
terwakili ketika ngobrol panjang dengan kawan-kawan seangkatan, atau bahkan
kakak-kakak yang usianya terpaut beberapa tahun di atas saya, yang belum punya
pacar, atau sudah punya pacar tapi belum merencanakan untuk menikah.
Saya? Saya tidak tahu. Sepanjang membaca catatan di Daily Mail, saya
sepenuhnya sadar, saya hidup dalam dua standar yang berbeda dalam melihat
pernikahan. Pertama, karena pengaruh lingkungan saya lahir dan besar plus
segala adat, budaya, kepercayaa, kesepakatan umum, bahkan mungkin
Undang-undangnya juga. Kedua, ego saya percaya ada hal-hal yang saya inginkan
yang tidak mungkin saya dapatkan jika sekarang saya menikah.
Waktu saya ngobrol sama Ita, kawan saya yang lain, di mana dia memiliki
standar tertentu untuk calon suaminya nanti. Saya bahkan tidak punya standar,
saya pernah punya standar, dan standar yang dulu saya inginkan ternyata tidak
seperti yang saya bayangkan. Karena bisa jadi saya jatuh cinta dengan orang
yang bukan dalam kategori standar yang sebelumnya saya miliki. Sementara saya
pernah bersama orang dengan kategori-kategori yang saya pegang, tapi ternyata
saya juga punya pemikiran tentang: saya nggak mungkin hidup dengan orang kayak
gini, selamanya. Ingat film “Hari Untuk Amanda”? Kurang lebih seperti itu.
Tapi mungkin, sebenarnya, tentang diri saya, jawabannya adalah tentang
kondisi. Bayangkan saya saat ini memiliki pasangan, saya curiga saya sudah akan
merengek-rengek minta dinikahi. Tidak menutup kemungkinan akan adanya hal itu,
bukan? Nah, ketika kondisi saya berada pada posisi sekarang, hal-hal yang ada
pikiran tentu bukan itu.
Apakah saya terlalu merasa aman dan nyaman? Apakah saya tidak berani
mengambil risiko? Apakah saya menolak dewasa? Mungkin ini bisa menjadi
pertanyaan pada diri sendiri, bagi semua kamu yang sedang di ambang pertanyaan
tentang masa depan…
Halah.
Marianne 11 tahun lebih tua dari saya. Diam-diam saya berdoa agar semoga
tidak akan menulis catatan persis sama dengan catatannya ketika saya 34 nanti. Tapi,
bagi saya pribadi, ini menjadi catatan yang cukup penting. Terlebih ketika
mengingat di mana saya tinggal dan dari mana saya lahir.
Saya tidak tahu, dan belum pernah bercerita panjang dengan mereka yang
telah menginjak kepala tiga dan belum menikah. Tapi yang saya tahu, dan ini
mengerikan, adalah stigma atau anggapan yang terlempar bagi mereka, yang
sayangnya, stigma itu justru akan membuat repot orang-orang terdekatnya. Ingat kalimat,
“Bapak nggak mau kamu dianggap perawan tua,” padahal umur saya baru mau 23. Bisa
jadi itu menjadi ketakutan para ayah-ayah lainnya. Sementara, hal lain yang
saya tahu, dari melihat mereka yang telah melewati usia 30-an dan belum berumah
tangga, mereka menikmati hidup mereka biasa saja. Saya tak pernah membicarakan
hal ihwal rumah tangga dengan mereka, karena bisa jadi bagi mereka saya hanya anak
kecil, dan prihal rumah tangga bukan lagi hal besar bagi mereka, toh mereka
melewatinya dengan baik-baik saja.
Bagi kita yang belum berpasangan, belum menikah, atau malah belum
memikirkannya. Apakah kita terlalu merasa aman dan nyaman? Apakah kita tidak
berani mengambil risiko? Apakah kita menolak dewasa?
Saya sendiri tidak tahu. Karena bisa jadi, definisi tentang menjadi
dewasa bagi tiap orang itu berbeda. Satu orang mengukurnya dengan keberanian
berumah tangga. Sebagian lainnya mengukur dengan variabel lainnya.
Mungkin saya harus lebih banyak ngobrol lagi dengan banyak orang. Dengan
kawan saya seangkatan, yang anggaplah seumuran tapi saya lebih kekanak-kanakan;
mereka yang lebih tua; mereka yang telah berumah tangga; mereka yang belum atau
malah tidak memilih untuk berumah tangga; bahkan adik-adik tingkat saya, yang
bisa jadi seumuran atau lebih muda. Karena katanya usia bukan standar untuk
menjadi dewasa. Dan Sinta tak perlulah merasa tua, asal dia cukup merasa
dewasa.
Dan, yang lebih penting sebenarnya, bagi saya adalah: menemukan standar
ketiga.
Keren mbak. Saya suka pemikiran anda. Ini mirip-mirip masa saya sekarang. Usia 25 dan banyak teman-teman wanita saya mulai panik kebelet kawin. Hehehe. Tapi saya laki2, dan jones. kwkwwk
ReplyDelete