Ada
satu masa di mana, lagu-lagu The Beatles mampu membuat seseorang jatuh cinta.
Begitupun cerita-cerita tentang Coldplay.
Ada
satu masa ketika, gambar-gambar realis adalah mimpi-mimpi yang seperti menjadi
nyata. Begitupun obrolan-obrolan tentang menjadi manusia: kita bukan
siapa-siapa, juga bukan anak siapa-siapa, lalu besar, belajar, bekerja,
menikah, menjadi orang tua, lalu mati, dan mungkin kita akan tetap menjadi
bukan siapa-siapa, kecuali keluarga-keluarga tercinta, dan sahabat-sahabat
terdekat, yang tetap saja, masih bukan siapa-siapa.
1
Waktu
itu malam sedikit hujan. Oh, tidak, ini hujan beneran.
Pesan
singkat masuk. “Gwen, hujan. Jadi berangkat tidak? Kalau jadi, aku pinjam mobil
kakakku dulu.”
Gwen
langsung membalas cepat. “Jadi. Aku sudah dandan.”
Setengah
jam kemudian. Vios silver menerobos hujan.
“Ben,
ini kan klub dangdut?”
“Kalau
Selasa malam Beatles-an. Ayo turun. Lari yah, nggak ada payung.”
Bersama
Ben, berdua meloncat cepat menghindari hujan. Tas kulit biru oleh-oleh dari
Singapura terpaksa menjadi penutup kepala. Walau rambut panjang Gwen basah
juga.
Ben
hanya tertawa. Rambut poninya terbelah dua. Gaya McCartney-nya hancur sudah.
“Kalian
nggak ada sing-a-long rame-rame kan? Aku cuma tahu “Imagine” sama “I Want To
Hold Your Hand” doang… “Yesterday” lah paling agak-agak inget…”
Ben
masih tertawa-tawa saja. Sambil membayar tiket sepuluh ribu rupiah.
Menuju
kursi-kursi yang ditata seperti kursi pada acara perkawinan. Ben menyapa satu
per satu orang, yang sepertinya dikenalnya. “Itu yang jadi John. Itu yang jadi
Ringo. Itu Paul.”
“Mana
George Horrison-nya?”
“Belum
dateng mungkin…”
Gwen
tertawa dan tepuk tangan paling keras selama lebih dari dua jam. Hujan reda. Lalu
pulang. Kaca mobil dibuka. Kota sejuk setelah hujan. Memaksa Ben terus memutar “Oh!
Darling” sepanjang jalan.
“Selasa
depan lagi yuk, Ben?!”
“Siap”
“Yes!”
“Nanti
aku kirim lagu-lagunya…”
Gwen
membuka kotak surat-nya. Ben. Baru saja mengirim tiga lagu. “Oh! Darling”, “If
I Fell”, dan “Girl”. Tak sabar, Gwen mengunduhnya. Memutarnya sampai Gwen
tertidur pulas hingga pagi. Hingga Selasa datang lagi. Berdua menuju taman ria,
makan bersama Ringo palsu. Merokok bersama John, yang, menganggap Yoko Ono
adalah penyebab Beatles bubar. Gwen bahkan memiliki tiga gelas bergambar
mereka. Didapatkan dari toko barang pecah belah di tumpukan terbawah, ketika
menemani mamanya memberi dispenser baru.
Entah
pada Selasa malam yang mana. Gwen lupa. Malam itu juga gerimis pelan-pelan
datang. Ben dan Gwen naik motor bebek bertambal stiker yang warnanya tak jelas
lagi punya Ben. Atap taman ria sedikit bocor, Ben dan Gwen harus tiga kali
berganti kursi. Demi kepala Gwen yang sudah sedikit berat karena kegerimisan. “Oh!
Darling” spesial buat Gwen, kata John dari atas panggung. Gwen berseru “Whoooo”
keras sekali. Ben mengepalkan tangannya ke udara.
Gwen
minta buru-buru pulang. “Kayaknya aku masuk angin.”
Ben
cepat-cepat mengantar Gwen pulang. Gwen cepat-cepat masuk kamar. Sebelum tidur,
satu pesan singkat masuk ke ponselnya. Dari Ben. “Kamu cantik sekali malam ini.”
2
Katanya,
satu tim itu tidak boleh suka-sukaan. Apalagi kalau lagi kerja bareng. Tapi ya
bagaimana kalau Gandhi, junior Gwen, tiap malam mengirim pesan singkat. Dari masalah
tugas, sampai tentang, lagi dengerin lagu siapa? Wah, Coldplay? Lu suka
Coldplay? Lu boleh ngatain gue mellow, tapi kadang-kadang gue pengen nangis
dengerin mereka! Hhha, lu cengeng yah? Tapi emang anjir tuh band! Mungkin
karena kita besar bareng mereka besar, jadi kita merasa mereka spesial banget.
Tapi mereka emang keren banget. Aku ada video live mereka, kamu harus nonton!
Oyah? Copy dong yah? Oke, besok aku bawain. E, udah siap meeting ntar? Ni lagi
siap-siap. Ayo berangkat bareng. Boleh nih? Ayolah. Gila yah, wah, kalau
Coldplay dateng nih yah, aku harus nonton. Hhha, tapi awas aja kalo jutaan. Hhha,
semoga mereka dateng kalau aku udah nggak ngrasa sayang ngeluarin duit banyak cuma
buat nonton konser. Hha, kalau mereka dateng kamu udah jadi ibu gitu, tetep
akan nonton? Meski dengan sangat menyesal karena ninggalin anak, tapi seorang
ibu juga boleh kan, tetep nonton konser dan seneng-seneng? Terus, suami kamu?
Dia harus ikut, suamiku pasti juga nggak akan mau nglewatin Coldplay kali. Tapi,
gila yah, kebayang nggak sih, kalau ntar kamu udah nikah gitu? Emang kenapa? Nikah
ya nikah aja. Ya enggaklah, nikah itu kan sesuatu yang beda banget dengan pas
kita belum nikah. Emang kenapa? Eh, kamu nggak pernah mikirin tentang nikah
yah? Belumlah, ngapain? Aku nggak ada rencana nikah, aku baru dua puluh tahun,
em, belum kepikiran lah. Emang kamu udah mikirin nikah? Udahlah. Terus, apa
yang kamu bayangin? Kok cuma ketawa? Udah malam ah, antar aku pulang yah? Ayok!
Emang kita harus mikirin nikah yah? Iyalah, kita udah dewasa kali, banyak hal
yang harus dipikirin.
Entah
kapan, entah bagaimana: malam itu Gwen jatuh cinta.
3
“Ben,
gambarnya udah jadi belum?” ucap Gwen dari balik telepon.
“Belum
Gwen, mau buat kapan?”
“Minggu
ini Ben. Kalau bisa besok malam udah jadi.”
“Hmm…
aku usahain yah…”
“Yah,
Ben, ini aja udah agak molor Ben…”
“Hhha,
yaudah, semoga besok malam udah jadi yah. Tolong kirimin aku brief tulisan
ketiga dong, briefku hilang…”
“Aku
kirim email yah… nih, aku kirim, wait, wait, all right, sent…”
“Oke
Gwen…”
“Thanks
Ben…”
“Sama-sama
Gwen…”
“Bye
Ben, besok aku telfon kamu lagi…”
“Siap!”
4
Gwen
berdiam dari satu ujung gedung. Gandhi di ujung lainnya, bersama kawan-kawan
yang lain. Tertawa-tawa. Entah perasaan Gwen saja, atau memang Gandhi sesekali
mencuri pandang ke arahnya.
“Gwen..!”
“Gandhi.”
“Udah
mau pulang?”
“Yap…
kamu?”
“Iya…”
“Hmmm…”
“Ayo
bareng…”
5
“Gwen,
gambarmu udah jadi.” Ben menelfon Gwen.
“Oyah?
Aku ambil di mana? Kamu mau aku bawain apa?”
“Nggak
usah bawain apa-apa… ke sini aja…”
“Hha,
okelah nanti kamu tetep kutraktir… Kamu di mana Ben?”
“Aku
di RS. Mitra.”
“Kamu
di rumah sakit? Ngapain? Siapa yang sakit?”
“Ada.Udah,
sini aja…”
6
Gandhi
dan Gwen tertawa-tawa. Gwen menatap Gandhi di depannya. Gandhi dan kaos
putihnya. “Ya tuhan, apa yang dipunya laki-laki ini?”
“Gandhi,
aku tahu aku mau jadi apa…”
“Oyah,
apa?”
Berdua,
mereka masih tertawa. Sepanjang malam. Hingga larut. Hingga tengah malam. Hingga
pagi. Hingga besoknya lagi. Dan lagi.
7
Gwen
mengetuk kamar 201. Seorang ibu mempersilahkan Gwen masuk. Gwen tersenyum. Ben
terbaring lemas. Menunjukkan gulungan kertas berisi gambarnya.
“Kamu
sakit? Kok kamu nggak bilang? Kan aku… kan aku…”
“Ini
gambar kamu.”
“Aduh
Ben, aku minta maaf. Aku nggak tahu kamu sakit…”
“Udah
nih, gambar kamu. Kamu udah deadline kan. Bawa gih...”
Gwen
diam.
*2010*
8.
Malam.
Hampir tengah malam.
“Jadi
dia pacar kamu?”
“Iya.”
“Terus
selama ini, kamu dan semua ini. Apa?”
“Aku
nggak tahu.”
“Kamu
tahu aku suka sama kamu?”
“Tahu.”
“Terus?”
“Aku
nggak tahu, Gwen.”
Gwen
diam.
*2011*
9
Gwen
sedang mengingat. Tapi malam
ini, kepingan ingatannya jatuh berantakan. Tak beraturan.
Gwen
diam.
__________________________
Turn down the lights, turn down the bed
Turn down these voices, inside my head
Lay down with me, tell me no lies,
Just hold me close, don’t patronize me
Don’t patronize me…
Cause I can’t make you love me
If you don’t
You can’t make your heart feel
Something it won’t
Here in the dark, in these final hours
I will lay down my heart
I feel the power but you don’t
No, you don’t…
(Cause
I Can’t Make You Love Me – Bon Iver)
No comments:
Post a Comment