Orang benar,
sepasang sepatu akan mengantarkan sang empunya pada tempatnya yang pantas. Atau
dalam tulisan ini selanjutnya, sepasang sepatu akan mengantarkan pemakaianya
pada tempat yang tak ia duga sebelumnya.
that: pair of shoes! |
Sang ibu dan anak :) |
Paris di
awal 60-an, Madeleine muda (Ludivine
Sagnier) mengutil sepasang sepatu dari toko tempatnya bekerja. Setiap hari melihat banyak perempuan mencoba
sepatu-sepatu cantik sepertinya membuatnya ingin memiliki satu saja satu dari
ratusan sepatu terbaru yang ada di toko itu. Diantara sedikitinya waktu yang
tersisa sebelum toko tutup, syukurlah Madeleine berhasil menyelipkan sepasang
heels kulit berwarna cokelat.
Dengan ujung
meruncing dan bunyi haknya yang terdengar serenyah senyum bahagianya, Madeleine
berjalan di sepanjang trotoar jalan menuju apartemennya. Berbolak-balik seperti
bocah balita yang baru bisa berjalan. Si bocah terlalu senang bisa melangkahkan
kakinya tanpa bantuan apapun. Ia berhasil membuat semua mata tertuju padanya,
sampai langkah kesekian saat dia jatuh terduduk dan siap berdiri lagi.
Tak ada yang
bisa menyangka jika sepasang sepatu ternyata juga mampu melipatgandakan rasa
percaya diri. Madeleine terus berbolak-balik memamerkan sepatu baru hasil
curiannya. Memamerkan rasa percaya dirinya yang melonjak begitu saja karena si
sepatu cokelat itu. Hingga seorang lelaki mendekatinya, saling tersenyum, dan
sedikit berbincang. Sebelum mereka berdua menghilang, masuk ke dalam
apartemennya yang tak terlalu jauh.
Tak ada yang
salah ketika beberapa laki-laki berkencan dengan Madeleine dan memberikannya
uang tambahan disamping pendapatannya bekerja di toko sepatu. Pirang, cantik,
dan mampu menghargai dirinya sendiri setinggi mungkin, Madeleine bahkan tak
keberatan dipanggil pelacur. “My mother
was a whore,” Véra (Chiara Mastroianni), yang
besar di pembuka abad 21, mulai bercerita tentang ibunya.
Hidup Madeleine
berubah ketika ia benar-benar jatuh cinta dengan salah satu langganannya, Jaromil
Passer (Rasha Bukvic) seorang dokter asal Paraguai yang tengah belajar di
Prancis. Atau tepatnya, Jaromil yang benar-benar jatuh cinta padanya. Diboyonglah
Madeleine ke negaranya, melahirkan Véra,
dan sayangnya, pernikahan keduanya tak dapat bertahan lama. Terjadi gencatan
senjata Rusia, Jaromil berselingkuh, lalu Madeleine kembali ke Paris. Membawa serta
Véra dengannya.
Dan di
sinilah kisah yang sebenarnya terjadi. Seperti perjalanan mendaki gunung,
sebelum menemukan puncak yang sebenarnya, kita akan bertemu padang-padang luas
yang sekilas terlihat seperti puncak itu sendiri.
“Les
Bien-Aimés (Beloved)”, menjadi salah satu film yang
diputar pada “Festival Sinema Prancis” pekan lalu di Jakarta, dan akan menyusul
kota-kota lainnya. Setelah beberapa kali membuka katalog, saya melingkari tiga
film. Semunya drama. Karena waktu yang tidak terlalu panjang, saya hanya sempat
menonton romcom satu ini.
Christophe
Honore menulis dan menyutradarai sendiri karyanya ini. Film ini akan bercerita
kisah cinta antara seorang ibu dan anak pada masa yang berbeda. Begitu kata
sinopsis. Jelas saya tak akan melewatkannya. Dan ya, pemeran Madeleine tua dan
Véra, Catherine Deneuve dan Chiara
Mastroianni, juga seorang ibu-anak di luar peran mereka. Ya, mereka ibu dan
anak yang sebenarnya.
Selanjutnya,
sinematografi cantik khas film-film Eropa menyambut sejak menit pertama. Kata teman
saya, kita akan bertemu dengan gambar-gambar indah, cerita agak sedikit absurd
tapi membuat kita bilang “Iya, ya…”, dan tubuh-tubuh telanjang tanpa sensor
jika melihat film-film Prancis. Dan memang benar. Semuanya ada di film ini,
meski tentu saja, gambar-gambar telanjangnya tetap saja terlihat indah tanpa
harus terlihat sensual atau bahkan berlebihan seperti gambaran cewek seksi
sebelum menjadi kuntilanak di bioskop kita, yang sepertinya sudah mulai
berkurang, amin.
Cerita masih
berputar diantara Madeleine dan orang-orang di sekitarnya. Ia, suami barunya, François
Gouriot dan Jaromil, sang mantan suami yang entah kenapa tetap saja menemuinya,
dan ia temui, bahkan hingga berpuluh-puluh tahun setelahnya. Juga Véra yang beranjak dewasa, dengan kisah cinta
tak sampainya.
Kita akan
bertemu dengan orang-orang yang mencintai hingga akhir hayatnya. Keberanian dan
kebodohan, macam seorang kakek tua yang meminta seorang kakek lainnya untuk
menceraikan istrinya, karena ia akan menikahinya. Si kakek kedua tentu saja menolak menceraikan istrinya,
tapi, tak apa jika si kakek pertama ini ingin tetap “melakukan apa yang kalian
lakukan meski aku tak tahu, tapi Madeleine tatap istriku”. Atau Véra yang tinggal di London, jatuh cinta pada Handerson
(Paul Scheneider), seorang drummer asal Amerika, yang ternyata gay dan mengidap
Aids. Meski Clément (Louis Garrel), teman sesama guru dengan kisah tak kalah
absurd, bersikeras tetap mencintainya.
Selain hubungan
cinta, dan seks, yang absurd, kita akan bertemu dengan tokoh-tokoh yang
bernyanyi setiap saat, setiap waktu. Mungkin pikiran kita akan langsung
melayang pada film-film Bollywood. Tapi tenang, mereka tidak menari-nari dan
bersembunyi di balik pohon atau semak dan kemudian berpelukan. Sejujurnya ini
agak menggelikan. Tapi ternyata, memasuki lagu pertengahan film, saya menanti
mereka bernyanyi sambil merenungi nasibnya.
Hingga akhirnya
kita akan tahu, bukan perihal cinta itu apa dan bagaimana akhir perjalanan
kisah cinta mereka, yang lebih penting lagi adalah tentang bagaimana untuk
menjalaninya begitu saja. Jaromil tua, yang begitu apik diperankan oleh Milos
Forman, meninggal karena kepalanya kejatuhan batang pohon di pinggir jalan yang
sedang dirapikan, dalam perjalanannya menyiapkan makan malam spesial bersama
Medeleine. Véra juga meninggal setelah bertemu dengan Handerson di Amerika,
melewatkan malam bertiga bersama pasangan homo Handerson.
Mereka mencintai
dengan tulus. Dan kita juga akan bertemu dengan tiga orang lainnya yang mampu
menyimpan cinta masing-masing dengan sama tulusnya. Madeleine dan cintanya
untuk sang putri, sang suami, dan sang mantan suami yang unik. François dan
cintanya untuk Madeleine. Serta Clément yang menata emosinya sedemikian rupa, hanya
untuk mencintai Véra.
Dengan sangat
halus, Honore menarik satu per satu apa yang sebenarnya sering kali terjadi di
sekitar kita. Tak hanya di Paris. Tentang pasangan yang bercerai. Tentang hubungan
seorang anak dengan orang tuanya, ketika orang tuanya berpisah. Tentang kisah
cinta antara dua orang sahabat, yang seringkali tidak bisa berjalan lancar. Tentang
kisah cinta seorang gay. Pengidap Aids. Kematian orang-orang tersayang. Dan,
pasangan yang beranjak tua bersama. Itu semua ada di sekitar kita. Dan ternyata,
saya harus susah-susah mencoba memahaminya dengan menonton film dari negara
yang jauuh di sana.
Tanpa terlalu
mendewakan film, yang tidak terlalu diunggulkan di festival kemarin, saya
menyukai bagaimana tiap tokoh, meski berbeda generasi dan karakter, tidak
terlalu memaksakan pakaian-pakaian yang dikenakan untuk mewakili dirinya
masing-masing. Sang penata kostum lebih memilih pakaian-pakaian klasik yang
tetap terlihat indah, meski dipakai seorang Madeleine muda ataupun tua. Selain itu,
kita juga akan bertemu para aktor dan aktris senior yang entah kenapa, justru
sangat mempesona. Dan tentu saja, bagian akhir ketika Madeleine yang semakin
beranjak tua meninggalkan sepatu kulit cokelatnya di sebuah jalan.
Kita akan
tahu, perjalanannya berakhir sudah. Begitupun filmnya.
sumber foto dari:
http://www.trenditude.fr/IMG/jpg/les-Bien-Aimes-Chiquette_b.jpg
http://lisathatcher.files.wordpress.com/2012/03/les-bien-aimes-de-christophe-honore-10454587wyfaw.jpg
No comments:
Post a Comment