“Ketika kita menyadari eksistensinya, film sudah lama menjadi
kebutuhan kita yang utama.” (Jean-Paul Sartre)
Saya marah
pada Martin Scorsese. Bagaimana tidak, dia berhasil membodohi saya, atau sebut
saya yang lalu menjadi tidak terima karena menjadi merasa sangat bodoh, setelah
selesai melihat “Shutter Island”. Iya, saya baru menonton film rilisan 2010
malam kemarin, dan sangat marah karena tidak terima dengan pencucian pikiran
yang juga berhasil Scorsese lakukan pada saya. Saya kehilangan orientasi atas
realitas tokoh Teddy si polisi yang kemudian sempat mengaku menjadi Andrew yang
menembak mati istrinya.
Ini hanya
permulaan, bagaimana praktik menonton film menjadi begitu serius hingga membuat
saya marah dan diam bodoh cukup lama. Bertanya pada diri sendiri tentang
bagaimana saya menginterpretasikan pesan yang saya terima. Ketika itu, film
tidak hanya sekedar rangkaian gambar bergerak dan bercerita selama beberapa
menit yang menyengankan, ia menjadi semacam realitas yang harus saya ketahui
cerita sebenarnya agar saya tidak kebingungan. Walaupun kebingungan semacam itu
pada akhirnya adalah sebuah rasa salut tersendiri pada Scorsese.
Inilah titik
dimana eksistensi film berhasil mengambil sebagian ingatan kita untuk
menyimpannya, tidak sekedar menontonnya. Apalagi di tengah begitu banyaknya
judul film panjang dan serbuan film amat pendek dalam bentuk iklan.
Menonton
film kemudian menjadi kegiatan melihat kembali penafsiran realitas ke dalam
pita seluloid dalam kacamata orang lain, sutradara, penulis naskah, kameramen,
dan editor (screenplay). Kenapa “penafsiran realitas”, karena, seringnya, ide
yang tertuang adalah apa yang sebenar-benarnya terjadi atau terpikirkan dari
ide awal cerita. Maka sebuah film itu fiksi, science fiction, atau apalah, sebutlah itu setengah fiksi jika itu
diangkat dari sebuah kisah nyata, tapi yang jelas, film bukanlah realitas yang
sebenarnya. Namun demikian, kita tetap bisa menonton realitas yang ada,
realitas dari kacamata yang berbeda.
Seperti
ketika mencoba mengerti penafsiran realitas yang dilakukan dua film yang
kebetulan sama-sama bercerita tentang sepenggal kisah tentang sejarah film itu
sendiri, “The Artist” dan “Hugo”.
|
The Artist |
|
Hugo |
Saya
teringat bagaimana laporan satu harian nasional tentang cara pintar Mark
Bridges menata kostum Peppy Miller (Berenice Bejjo) dalam “The Artist”. Karena
ini adalah film hitam-putih, maka ia tidak bisa menggunakan pakaian warna-warni
indah yang bisa saja menjadi ikon jika itu adalah seri film “Sex and The City”.
Kemudian dia mengakalinya dengan detail yang akan menunjukan metamorfosis
Miller sebagai gadis biasa menjadi bintang melalui ruffles, kilau batuan, bulu, dan aksesoris gemerlap.
Saya
kemudian membayangkan, jika “The Artist” benar-benar dibuat pada tahun 1927,
sepertinya ini adalah hanya sekedar film dengan cerita happy ending. Untungnya ini adalah film tahun 2011, ketika semua
orang (termasuk saya, mungkin) semakin mencintai film digital dengan efek
fantastis, atau entahlah, karena saya sebenarnya bukan penggemar fanatik film.
Menjadikan kita kembali merasakan sensasi menonton film bisu dalam versi yang
lebih hidup dan bercerita. “The Artist” memberikan “penafsiran realitas”
sejelas-jelasnya tentang metamorfosis versi film yang kita tonton sekarang,
sebuah pengalaman audio-visual, melalui kacamata Michael Hazanaficius.
Bagaimana
tetap saja ada yang (sempat) terkalahkan ketika film menemukan bentuk barunya
menjadi gambar bergerak dan bersuara. Hal tersebut tergambarkan jelas dari
karakter Goerge Valentin (Jean Dujardin), sang bintang film “bisu” yang
kehilangan segalanya ketika ia menolak untuk mengikuti perkembangan film itu sendiri.
Sementara pemenangnya adalah Peppy Miller, si junior penggemar Goerge Valentin
yang menjadi bintang baru dan mendapatkan semua yang pernah dimiliki Valentin.
Di sisi lain, realitas bentukannya adalah ketika film menjadi lebih menarik
karena ia tak lagi bisu.
Maka “The
Artist” pun terasa memiliki pesannya sendiri. Bahwa, di era ketika penonton
bisa merasakan apa yang terlihat dalam film dengan kacamata 3D (walaupun saya
belum pernah mencobanya, cupu!), mampu menarik hati dan menyimpan sedikit
tentangnya. Film bisu di masa 3D. Sebuah sensasi sekaligus cara untuk
mengingatkan kembali tentang eksistensi.
Sensasi
untuk mencoba menebak perasaan yang sempat diungkapkan Sartre tentang film-film
di masa kecilnya, ketika film menjadi hiburan yang lebih egaliter di masyarakat
Prancis awal abad 20-an. “Di atas
segalanya, aku menyukai kebisuan tak tersembuhkan dari tokoh-tokoh favoritku.
Atau lebih tepat, tidak: mereka tidak bisa, sebab mereka tahu harus berbuat apa
untuk dimengerti orang lain. Kami berkomunikasi melalui musik, yang merupakan
bunyi batin tokoh-tokoh itu.”
Nyatanya saya
tidak bosan melihat sekitar sembilan puluh menit film hitam putih nan bisu itu
sambil mencoba mengerti, dahulu, dahulu sekali, sekelompok orang menciptakan
film dan secara serius memikirkan keberlanjutannya dari pada menciptakan alat
peledak baru. Bersyukurlah saya yang kini bisa bebas men-copy film dengan
flashdisk (*ups) dan sesekali (sesekali) ke bioskop, atau bahkan
mengarang-ngarang cerita dan sok-sokan membuat film.
Eksistensi
film lebih personal dan lebih mendalam lagi ditampilkan dalam “Hugo”.
Adrian
Jonathan Pasaribu, seorang penulis dalam salah satu situs film (yang oke
menurut saya), menulis bahwa: “Sinema adalah medium artifisial yang tunduk pada
keinginan operatornya, dan artifisialitas medium film inilah yang ditekankan
Scorsese dalam Hugo.” “Hugo” sebagai film menjadi pesan itu
sendiri, tentang eksistensi film sebagai dunia artifisial. Atau kalau saya tadi
mengoceh tentang “penafsiran realitas” (bdw, serius saya nggak berpegang buku,
kalau nggak setuju atau saya keliru, ingatkan saya yuk aja mari).
Saya sendiri agak terkecoh
dengan film fantasi yang dikomentari sinis oleh Si Potter, karena “Hugo” menang Oscar,
dan Daniel Radchliffe beranggapan bahwa hanya film fantasi garapan Martin Scorsese
(dia lagi!) yang bisa masuk Oscar. Atau emang saya aja yang agak terlambat
ketika memahami film. Karena saya menanyakan, adakah di masa itu sudah ada robot?
Ketika merawat si automaton,
Hugo hidup di Paris era 40-an, yang berarti si automaton dibuat beberapa puluh
tahun sebelumnya, atau ketika Georges Méliès membuat “A Trip to The Moon”
di tahun 1902, yang ternyata menjadi pesan dari automaton. Lalu bukankah Méliès
seperti halnya Lumière bersaudara juga menjadi salah satu yang mengawali
sejarah film itu sendiri. Lumière mendokumentasikan realitas dari perjalanan
kereta dalam sinema, Méliès menciptakan dunianya sendiri, sebuah dunia dengan
karakter fantasi yang berkembang dari realitas pikirannya, perjalanan ke bulan
itu salah satunya. Meskipun perjalanan ke bulan syukurnya terjadi beberapa
dekade sesudahnya, tapi sepertinya cerita tentang alien masih berada di titik
semu antara ide dan realitas.
Tentu saja
saya awalnya mengira “Hugo” akan hanya bercerita tentang si bocah yatim-piatu
dan jam-jam besar di Paris. Tanpa mengira bahwa ia akan mengajak kita mencari
tahu tentang ayahnya yang berujung pada sepenggal cerita tentang sejarah film
dan segala eksistensinya. Film bagi almarhum ayah Hugo, dimana ia merupakan
salah satu generasi pertama penikmat film. Film bagi Hugo akan kenangan tentang
ayahnya, dimana ia selalu menonton film bersama ayahnya. Film bagi George
Méliès sebagai sebuah cinta yang berujung keputusasaan dan sakit hati. Tentang
seluloid film yang dijadikan bahan untuk membuat hak sepatu pasca PD I (serius,
ini menyedihkan). Tentang mereka semua dalam film ini, yang pada akhirnya
tersatukan melalui film. Dan, terlebih lagi, tentang penonton film yang tanpa
sadar sudah menjadikan film sebagai kebutuhan. Seperti halnya pemulas bibir dan
bedak bagi seorang perempuan, kebutuhan yang terbentuk entah karena apa, atau
bisa jadi, terbentuk dengan terlalu banyak alasan.
Jika “The Artist” mengajak mencoba sensasi
dalam salah satu loncatan dalam sejarah film, “Hugo” terang-terangan mengajak
kita mencari awal esensial tujuan kenapa film dibuat, yaitu untuk menciptakan
realitasnya sendiri, realitas dalam film. Kesamaanya, dua-duanya mengajak
menikmati sensasi mencari realitas dalam sejarah film itu sendiri, meskipun,
tentu saja, belum tamat di detik akhir kedua film ini.
Begitulah.
Inilah cerocos dari orang yang selalu telat nonton film karena pelit mengeluarkan
uang untuk menonton bioskop lalu tergerak ingin menulis tentang film karena
kalimat Sartre di atas. Terlepas dari keduanya sebagai pemenang Oscar tahun
ini.
Beruntunglah
yang masih sempat menonton film.
Terimakasih
untuk Bang Bokir, aka, Ajik, atas puluhan film barunya. Saya jadi punya
kegiatan berarti sambil makan pagi.