|
PU-nya pun kesurupan *ada beberapa foto dari Marka terakhir yang saya ikuti. Foto-foto oleh Alfian :) |
19
tahun, bukan hal yang mudah untuk dilalui. Pasti. Pasang dan surut. Sedikit ketegangan.
Beberapa tawa lepas. Ruangan di sudut yang kadang terlampau sesak, sering pula terlalu
sepi.
Memang,
bukan hal mudah untuk terus di sana. Mencoba menjadi diri sendiri. Tapi harus
menjadi berbeda dengan yang lain. Sepintas dipuji. Lain waktu dibenci. Satu kali
melakukan tindakan benar. Kali lain hanya melakukan kekeliruan dan menjadi tak
berarti.
Tapi
satu hal yang mungkin akan diamini dengan keras secara bersamaan oleh semua
yang pernah merasakan itu semua, di sana. Kita telah belajar sesuatu yang tidak
mungkin bisa didapatkan di tempat lain jika bukan di sana.
****
Ingatan
saya melayang pada satu siang yang agak cukup terik pada Ramadan pertama saya
menjadi mahasiswa. Buru-buru dari tempat kost pacar saya waktu itu, harusnya
saya membaca komik, buku, atau majalah, menemani dia menggambar. Hanya demi
sebuah pertemuan rutin sebuah unit kegiatan mahasiswa. Agak sedikit lupa,
apakah waktu itu saya sudah resmi menjadi anggota atau belum. Mungkin saya
sudah menjadi semacam anggota, dengan status magang.
Status
yang, jika saja kamu bukan seseorang yang memang benar-benar ingin belajar,
tidak ada apa-apanya. Kamu hanya akan membantu beberapa orang menyiapkan
pertemuan, berarti mungkin mencuci gelas, membeli minuman dan makanan kecil,
merapikan karpet. Atau, jika pun menulis, kamu akan mendapat kesempatan
wawancara dengan tiga orang teman lainnya. Berbagi paragraf untuk satu tulisan
agak panjang berisi sekitar 3.500 karakter yang ternyata tak seberapa. Melelahkan?
Menyebalkan? Disepelakan?
Tapi
mungkin tidak akan ada apa-apanya jika kamu memang seorang anak desa yang punya
mimpi tepat di atas kepalanya untuk menjadi seorang jurnalis. Entah jurnalis
apa. Dan merasa menemukan tempatnya untuk belajar.
Tempat
belajarnya pun bukan sebuah ruang bermeja-kursi dengan guru-guru pandai yang
akan menjejalimu dengan berbagai teori. Memberimu senyum manis setiap hari atau
makanan-makanan kecil enak agar kamu betah dan merasa senang.
Ya,
di sana hanya ada mereka orang-orang yang lebih pandai darimu dan senantiasa
untuk mengajakmu untuk ikut pandai bersama. Semacam belajar bersama. Berbagi ilmu
dan pengalaman yang mereka punya. Selepasnya, kamu harus belajar sendiri.
Bahkan kalau perlu, harus lebih pandai dari mereka.
Di
sana rasanya saya tak pernah dimanja. Kalaupun kebaikan-kebaikan begitu banyak
berserakan, itu adalah sesuatu yang setulus-tulusnya kamu dapatkan. Kadang kebaikan
itu diiringi muka yang agak sedikit sinis. Kalimat yang agak sedikit galak. Sindiran
yang memualkan. Dan pujian yang memabukkan (dan ingat, ketika kamu mabuk,
bersiaplah untuk dipermalukan kemudian).
|
Mia dan Rina. Orang hebat di Kentingan hingga sekarang. |
|
*ewesbeste! |
Hingga
pada suatu siang yang lain. Saya pun bertanya: kenapa saya harus terus datang
ke sana padahal di sana saya bukanlah siapa-siapa? Kenapa saya harus
repot-repot berjalan kaki di tengah terik matahari, pulang agak terlalu malam,
dan kadang juga diiringi hujan? Tapi saya terus melakukannya. Mungkin karena
saya suka. Atau mungkin karena ternyata saya tidak memiliki kawan selain kawan
saya di sana. Atau mungkin karena ternyata saya gagal ikut kompetisi penyiar
radio (dan tidak mau mencobanya lagi). Atau mungkin karena saya merasa ada
jalan kecil bagi keinginan saya yang besar itu di sana. Mungkin, dan mungkin. Dan
saya tetap berada di sana.
Berada
dalam kompleksitas pemikiran yang begitu beragam, pada akhirnya seseorang harus
memilih yang terbaik dengan dirinya sendiri. Tidak perlu merubah banyak hal. Tidak
perlu menjadi orang lain. Tidak perlu memaksakan orang lain.
Dan
saya pun bersyukur berada di sana, karena akhirnya sepenuhnya menyadari dan mengerti
bahwa menjadi mahasiswa adalah sama sekali bukan hal yang keren seperti dalam
pandangan saya sebelumnya.
Belajar
memahami bahwa kita berhak sepenuhnya atas diri kita sendiri. Pemahaman ini
saya terima mentah-mentah ketika saya dan teman-teman seangkatan menjadi
generasi termuda di tahun itu. Waktu itu sedang ada pemetaan ulang terbitan. Dan
terbitan pertama kala itu, bicara tentang anak muda. Ternyata kita tak harus
selamanya menjadi bagian dari satu sistem atau kelompok tertentu. Ternyata kita
tak selamanya harus rajin berdemo untuk menentang sesuatu. Dan semacamnya. Waktu
itu mungkin saya sedang tidak sadar, bahwa generasi-generasi sebelum saya
sedang membuat revolusinya yang terbaru: bergerak secara kreatif memaksimalkan
kemampuan dirinya sendiri. Sesuatu yang kian jelas terlihat sekarang-sekarang
ini.
Anak
bawang. Saya sang anak bawang, sepertinya telah menemukan rumah keduanya. Mungkin
satu kali kita pernah menyebutnya keluarga, sesuatu yang bahkan masih terbawa
sampai sekarang. Panggilan macam Mbah Kung, Teteh, Akang, Abang, Mami, Papi,
Dad, atau mungkin yang lainnya. Kedekatan aneh yang entah bermula dari mana. Mungkin
dari kejujuran akan satu mimpi yang selalu diamini bersama. Kejujuran akan
ketidakpercayadirian yang akan dilanjutkan dengan kalimat-kalimat dorongan yang
tulus. Saling menertawakan. Atau justru kemarahan-kemarahan kecil yang akhirnya
menyadarkan bahwa memang tidak ada orang yang sempurna, dan lalu menerimanya
dengan pemakluman, “Dia emang orangnya kayak gitu,” lalu tertawa kecil.
Kata
kawan saya, semua hal itu pada akhirnya bersifat politis. Siapa di posisi apa,
siapa akan melakukan apa, semua orang akan menilainya. Tanpa disadari, mata kita melihat, telinga
kita mendengar, otak kita menilai, dan lalu hati kita turut merasa. Semuanya campur
aduk menjadi satu.
Kembali
lagi. Barangkali, jika saja kamu bukan seseorang yang memang benar-benar ingin
belajar, sebaiknya kamu segera keluar di tahun pertama. Abaikan ketika ada lobi
dari senior. Karena sekali kamu menerima sebuah tanggungjawab, itu berarti kamu
harus bertanggungjawab hingga akhir. Akhir itu tak hanya ketika kamu selesai di
satu masa kepengurusan atau masa produksi, akhir itu akan datang ketika kamu
merasa tanggungjawabmu selesai. Dan tanggungjawab itu, ternyata pun tak
segampang yang terlihat.
Ada
tanggungjawab untuk menerima warisan dari mereka yang sebelumnya telah melakukan
yang terbaik. Menerima dengan apa adanya tanpa banyak protes akan lebih baik. Tetapi
melakukan sesuatu yang bisa menjadikan lebih baik semampumu itu rasanya akan
lebih tepat untuk dilakukan. Menjalankan semuanya sebaik-baiknya, kalau kamu
rasa kamu benar, lakukan dengan penuh pertanggungjawaban dengan berani bicara,
berani meminta maaf kalau menjadi tidak menyenangkan, berani menyelesaikan. Dan
terakhir, menyiapkan mereka yang akan menggantikanmu suatu hari nanti.
Yang
terakhir adalah yang paling sulit. Bagimu yang tak pernah merasa dimanjakan, tentu
kamu tak merasa perlu untuk memanjakan orang. Bagimu yang merasa tak pernah
dipaksa, rasanya juga pasti akan sangat menyebalkan untuk memaksa orang.
Tentu
saja saya tidak berhasil mengakhiri perjalanan di sana dengan mulus dan
sempurna. Selain setumpuk ilmu dan ikatan-ikatan hubungan persaudaraan yang
seperti ikatan sapu lidi, kadang menguat, kadang pula ikatannya mengendur.
Krikil-krikil
itu dalam waktu satu atau dua tahun akhirnya menjadi bahan guyonan yang kadang
agak menyakitkan. Pemahaman yang berubah-ubah terhadap seseorang. Penilaian yang
seringkali berubah seratus delapan puluh derajat pada yang lainnya. Belum lagi
unek-unek pribadi yang berkisar antara siapa dulu pacarnya siapa, kini siapa
jadi pacarnya siapa. Atau siapa dulu ditolak siapa, kini siapa menolak siapa. Siapa
dulu terlalu keras berdebat dengan siapa, siapa kini tak pernah bicara dengan
siapa.
Kadang
rasanya semuanya seperti basa-basi yang terlalu panjang. Melelahkan. Seperti saya
yang juga akhirnya lelah sendiri, dulu bicara terlalu banyak. Meski saya tidak
pernah lelah dan menyesal untuk bermimpi sebanyak mungkin.
Saya tak lagi terlibat kegiatan-kegiatan LPM Kentingan tepat di semester terakhir saya
kuliah.
Pada
satu hari seorang kawan bercerita tentang ketidaknyamanan apabila, apabila,
jika dan jikaa. Saat itu saya seakan bertekad, saya tidak akan melakukan apa
yang membuatnya tidak nyaman. Lagipula siapa yang suka dengan konsep senioritas
dan yang agak galak-galak gimana gitu? Di saat itulah saya harus mundur
selangkah demi selangkah. Benar, seekor anak burung akan mampu dengan
sendirinya belajar sendiri, karena dia memanglah burung yang ditakdirkan untuk
terbang. Kecuali ia memilih menjadi burung unta dan berdiam saja tanpa pernah
merasakan hangatnya angin di ketinggian sana.
Makanya
saya selalu salut pada mereka yang selalu mampu dan mau untuk terus mengajari
burung-burung kecil berani terbang. Tidak menjadi burung dewasa yang malah
memilih bermigrasi ke negeri berbeda musim. Seperti saya.
****
Dua
tahun lalu. Saya baru saja selesai shooting untuk tugas kuliah sedari pagi. Waktu
itu sisa-sisa hujan masih tarasa. Selesai mandi, saya menyalin satu puisi dari
sebuah buku untuk dibacakan nanti. Mengepas rok panjang saya dan bergegas ke auditorium dengan
meminjam motor teman kost saya, karena gagal mendapatkan tebengan karena semua
orang sudah di sana.
“Ada kalanya
kesendirian menjadi hadiah ulang tahun yang terbaik. Keheningan menghadirkan
pemikiran yang bergerak ke dalam, menembus rahasia terciptanya waktu.
Keheningan mengapungkan
kenangan, mengembalikan cinta yang hilang, menerbangkan amarah, mengulang manis
keberhasilan dan indah kegagalan. Hening menjadi cermin yang membuat kita
berkaca – suka atau tidak pada hasilnya.” (Lilin Merah
– Filosofi Kopi, Dee)
Malam
ini saya berkaca. Sejelas-jelasnya.
Saya
kini benar-benar jauh dari semuanya yang dulu Kentingan pernah berikan. Tapi tentu
ada baiknya juga untuk melakukan sesuatu yang lainnya lagi. Dan merasakan hal
yang baru lagi. Belajar satu hal yang lebih besar lagi.
Kini
saya tahu. Tidak percuma beberapa orang tidak setuju dengan saya. Tidak percuma
beberapa orang membuat saya seperti anak kecil yang menangis hanya karena
keinginannya tidak kesampaian dan dibuat marah. Tidak percuma saya disuruh
diam. Karena akhirnya saya tahu saya harus melakukannya saat itu daripada
sekarang.
Suka
atau tidak suka pada hasilnya. Rasanya sudah sangat lama saya tidak pernah
berhubungan lagi dengan UKM yang justru menjadikan saya seperti ini. Seperti lidi
terlepas dari ikatannya. Akhirnya saya bertemu tanah yang membuat saya ingat
akan segala-galanya. Bahwa, seperti mencontek Hasan di status Facebook-nya, terimakasih untuk Kentingan karena telah mendidik
dengan baik dan benar.
Saya
tahu, saya masih saja cerewet dan banyak omong. Kalau tidak, saya tidak perlu
menulis catatan sepanjang ini. Anggap saja ini pledoi.
Karena,
seperti yang lainnya, saya pun pernah merasa tidak ada gunanya berada di sana. Tapi
untuk ketiga kalinya saya akan bilang, , jika saja saya bukan seseorang yang
memang benar-benar ingin belajar, saya sudah akan keluar di tahun-tahun pertama
atau kedua. Begitupun saya akan bilang pada teman-teman lain di sana. Tapi jika
kamu tetap di sana, berarti kamu akan menerima semua tanggungjawab yang ada,
tanpa mengeluh, tanpa menyalahkan siapa-siapa. Dan pada akhirnya, juga tanpa
membenci siapa-siapa. Benar kan, ini pledoi. Atau mungkin berharap akan ada anak
baru yang membacanya.
Dan
akhirnya, terimakasih LPM Kentingan. Terimakasih semuanya, atas segalanya.
Banyak
mereka yang telah berhasil menjadi jurnalis hebat. Bahkan founder satu media
holder terkeren saat ini dan menjadi penggerak berbagai young movement. Pasti kau
bangga. Mereka satu per satu meraih mimpinya.
Dan
jika ada yang bertanya kenapa saya tak menjadi jurnalis? Pada satu waktu saya
berhadapan dengan satu pertanyaan, “Menjadi jurnalis dan kehilangan beberapa
hal. Atau tetap menulis dan saya mendapatkannya satu per satu?” Kalian tahu
saya memilih yang mana. Meski kalian mungkin tak mau mendenger penjelasan saya.
Tentu saja ini pledoi.
Toh
setiap orang pada waktunya harus belajar banyak hal lainnya, saya kira. Semoga masih
percaya tulisan bisa lebih tajam dari pedang. Hormat saya pada kalian semua di
sana.