Gwen masih menatap layar kecil ponselnya. Sedikit tidak percaya
pada pesan yang baru saja dibacanya. Bagaimana mungkin Brian kesepian?
Bukankah Brian sudah terlalu biasa dengan kesendirian. Gwen tahu
benar itu. Dalam bayangannya, Brian tak akan merasa kesepian dan sendirian
selama masih ada tumpukan buku yang harus ia habiskan. Brian bahkan bisa hidup
tanpa makan. Tapi Brian pasti akan mati lemas karena kejang-kejang sebab tak
ada halaman buku yang bisa ia kerat kata-katanya. Gwen sering meledeknya,
sebagai pemakan kata-kata. “Makan tuh, kata-kata.” “Kasih makan istrimu dengan
kata-kata.” “Nanti besarkan anakmu dengan kata-kata.” Brian hanya akan menekuk
satu bibirnya, mengernyitkan sudut matanya, dahinya berkerut seperti kaosnya
yang kusut, memandang Gwen beberapa detik, seperti sedang berfikir dan lalu
terbahak. “Benar juga. Akan kuberi makan anakku kata-kata. Biar dia jadi anak
paling bijak sedunia.” Sambil berlalu, Gwen berteriak sebal, “Orang gila!”
Pun demikian, pesan pendek itu membawa Gwen pada keinginan untuk
segera memesan tiket pesawat dan lalu pulang. Menemani Brian. Brian
menghabiskan sepuluh tahun terakhir hidupnya, bahkan mungkin lebih, untuk
membaca di kamar sempitnya. Kamar kostnya ketika kuliah dulu kini jadi seperti
gudang buku, berantakan tak terurus. Tak ada penomoran, tak ada kategorisasi,
meski tak sebanyak yang kau bayangkan, ruang 4x5 itu benar-benar menyesakkan. Tinggal
lebih lama di sana mungkin akan membuat Brian mati kehabisan udara karena bau
lembab kertas yang menyiksa. Atau tiba-tiba dia telah berubah menjadi kecoa,
seperti Gregor Samsa. Gwen tak pernah betah berlama-lama di sana. Secukupnya
saja. Biasanya meminjam buku, atau sekedar mencari Brian jika dia sulit
ditemukan. Beruntung sekarang Brian tinggal di rumah kontrakan kecil yang lebih
manusiawi. Rumah kecil dengan ruang tamu, dua kamar tidur, kamar mandi, dan
dapur kecil, yang semuanya, tentu saja, penuh buku. Kecuali satu kamar yang ia
minta untuk dijadikan kamarnya kalau dia pulang nanti. Ya, kau benar, dapur pun
penuh buku. Buku tak laku pas bazar entah kapan dan akhirnya berakhir di dapur
rumah kontrakan. Menumpuk, bau dan berjamur, berjejer dengan baskom-baskom sisa
mie instan yang mulai menghitam. Brian biasanya duduk selonjoran membelakangi
jendela besar di kamarnya, membaca, entah apa. Gwen tak pernah mau
memperhatikan. Sekali lagi, Gwen tahu, Brian tak akan pernah kesepian. Selama
ada selembar dua lembar bacaan di tangan. Seperti Gwen kecil juga tahu,
hidupnya akan baik-baik saja, ketika Brian datang membawa sebatang es krim
vanila di tangan.
Aih, Bri... padahal kau yang akan selalu ada ketika aku hampir
mati karena kesepian. Gwen ingin meneleponnya, tapi terlambat, sebentar lagi
Azan Magrib lewat dan Gwen harus segera pergi meninggalkan batu tempatnya duduk
sekarang. Batu tempatnya duduk mencari sinyal di pinggir lapangan. Mungkin
nanti, Bri...
Sambil jalan, Gwen tersadar. Entah kapan mereka terakhir bertemu
dan saling bercerita panjang. Tahun baru lalu... lamanya. Lama sekali. Bulan
depan sudah akan tahun baru. Hampir setahun lalu. Brian sibuk dan Gwen kini
berada entah di mana. Gwen juga kadang masih tak percaya pada tempatnya kini berada.
Menjadi guru dadakan pada sekolah di tengah perkebunan. Sekali Gwen mengirimi
Brian surat dengan tulisan tangan, sebuah ucapan selamat lebaran dan sedikit
cerita tentang kegiatannya kini dan banyak hal yang muncul di kepalanya ketika
itu. Ketika di kota, Gwen selalu lupa untuk berusaha menghubungi kakaknya itu.
Hidupnya baik-baik saja, pun pasti hidup Brian. Kalau ada apa-apa dia pasti
akan menghubunginya. Seperti halnya Gwen yang pasti akan menghubunginya jika
ada sesuatu. Brian membalas suratnya, tapi tak sampai di tangah Gwen, dan malah
berakhir dengan kembali ke alamat Brian. Alamat Gwen tidak ditemukan kurier
jasa pengiriman barang. Gwen tertawa terbahak sekaligus kesal. Alamatnya tak
dapat ditemukan. Lalu Brian mengirimnya ulang dengan email: hal tersederhana
yang bisa dia lakukan tapi ia abaikan demi mengalami sensasi tak biasa ketika
saling berkirim surat seperti jaman perang. Teknologi termutakhir abad ini yang
banyak merubah banyak hal... meski akhirnya Gwen tahu, surat balasannya itu
diketik dengan komputer. Sedikit kesal, karena usahanya menulis dengan tangan
tak dibalas sepadan. Malah ditertawakan. Karena Brian bilang di surat
balasannya bahwa ia bisa membaca emosinya. Brian tahu, Gwen ingin pulang. Tapi
tak bisa, karena beban “tanggungjawab” dan lain sebagainya... Gwen menikmati,
tapi itu bukan dunianya. Gwen tak bisa berlama-lama pura-pura super bahagia,
karena kenyataannya sebaliknya. Gwen bahagia, tapi rasanya tak biasa.
Bahagianya berbeda... ada yang kurang. Entah apa.
Barangkali karena sekarang Gwen sedang ingin pulang. Sekedar
menemani Brian.
“Bri...” pagi, pagi sekali, menghubungi kakaknya.
“Gwen... kamu kenapa?” Brian menjawab dari sebrang. Suaranya
tegas, ada nada khawatir di sana. Tidak biasanya Gwen menghubunginya sepagi
ini. Kecuali...
“Bri. Aku nggak apa-apa. Aku sedang di desa. Aku baru bisa telpon
kamu sekarang. Bri... Bri... suaraku kedengeran jelas nggak? Bri...?”
“Beneran nggak kenapa-kenapa? Tumben kamu telpon...?”
“Mumpung libur Bri... ini aku lagi lari, ke pinggir hutan yang
baru saja ditebangi pohonnya. Di sini ada sinyal. Bri, Bri... suaraku jelas
kan?”
“Iya...” Brian menjawab malas.
“Bri...”
“Apa...?”
“Bri, kamu baik-baik aja? Adi sms aku... mama sms aku... “
“Sms apa?”
“Kamu dan Maria, Bri...”
“Iya Gwen...”
“Kamu nggak apa-apa?”
“Aku nggak apa-apa. Kami nggak apa-apa.”
“Kenapa kamu nggak kasih tahu aku sendiri Bri?”
“Untuk apa?”
“Mungkin aku bisa menghibur kamu. Hihi...” Gwen menahan tawanya.
Brian juga tertawa. Sedikit dipaksakan. Mereka berdua tertawa.
“Bri... kamu sedih?”
“Gwen. Masih pagi...”
“Bri, aku tidak punya banyak waktu untuk nelpon kamu. Jawab aja
pertanyaanku. Bri, kamu sedih?”
“Gwen, ya ampun...” Brian membenci adiknya dalam kondisi seperti
ini. Masih belum penuh kesadarannya ditelpon sepagi ini, dan Gwen sudah mulai menunjukkan
sisi paling egoisnya. Untuk selalu dituruti. Ini sebenarnya jam berapa? Brian
melihat jam dinding di sisi kanannya. Astaga, jam lima dua puluh. Dan di ujung
sana adiknya sudah berada di pinggir hutan, mencari sinyal, demi menanyakan
hal-hal seperti ini... sepagi ini.
“Bri... Bri! Kamu tidur lagi?”
“Hmm...”
“Bri, kamu sedih?”
“Gwen. Kamu mau dengar apa?”
“Adi bilang kamu kesepian.” Brian hampir tersedak menahan tawa
mendengar kalimat adiknya. Adi, kawannya, bilang apa...
“Adi bilang apa?”
“Adi bilang kamu kesepian. Kalau bisa aku pulang ke Solo dan
menemuimu. Kamu kesepian. Kamu butuh teman...”
Brian tertawa. Kali ini terbahak. Demi tuhan. Dia tidak kesepian.
Dan kenapa Gwen...
“Bri, jangan tertawa seperti itu. Aku tahu, pasti berat untukmu.
Tujuh tahun, bukan waktu yang singkat. Aku selalu membayangkan kalian menikah.
Tahun ini, atau mungkin tahun depan. Bri, aku sedih mendengar kalian berpisah.
Aku tidak dapat membayangkan kamu sendiri, tak terurus. ”
“Gwen. Sudah. Iya, kami, aku dan Maria berpisah. Tapi tidak
sedramatis itu...”
“Bri... Kamu tidak perlu pura-pura menjadi kuat seperti itu...”
Jika harus memilih satu hal yang akan membuat Brian membenci Gwen, adalah sifat
sok tahu Gwen yang besar bukan kepalang. Dan Gwen selalu bisa mengatakannya ringan
tanpa beban, tanpa dosa. Merasa benar. Selalu merasa benar. Selalu menjadi yang
pertama tahu. Tak peduli bagaimana orang lain menerimanya. Tak mau tahu, atau
tepatnya, tak ingin tahu, bagaimana orang lain menerimanya. Gwen kadang memang
semenyebalkan itu. Terlebih ketika dia mulai bersikap memojokan. Dia akan
memaksa. Memaksa mencari pembenaran atas segala rasa tahunya. Rasa tahu yang
belum tentu. Meski bisa jadi segala duga, prasangka, juga asumsi Gwen benar.
Brian sering dibuat kesal dengan cara Gwen mengatakannya. Raut muka dan
pandangan mata Gwen menjadi seperti penyihir yang seketika bisa berubah menjadi
burung hantu. Runcing, membunuh. Brian tidak pernah menyukainya. Brian
membayangkan muka Gwen yang kini tengah perlahan berubah menjadi penyihir
siluman burung hantu itu. karena ini masih pagi, siluman itu baru saja berubah
menjadi manusia, setelah semalaman berburu bangkai-bangkai busuk untuk dimakan.
“Bri... halo Bri... Bri, suaraku kedengeran? Halo Bri? Bri, kalau
kamu mau cerita, cerita aja Bri. Ceritain ke aku... nggak apa-apa...” Nah,
benar, Gwen memang kadang menjadi siluman menyebalkan itu. Gwen sedang mulai
memojokkannya. Kali ini, untuk kali ini, untuk rasa kantuknya yang terampas
sepagi ini, untuk beberapa menit yang menjadi sangat menyebalkan, Brian tak
ingin terpojokkan untuk hal tidak penting seperti ini.
“Gwen. Kalau kamu ingin bertanya kabar abangmu ini bagaimana, akan
kujawab. Aku masih ngantuk Gwen. Telponmu ini membangunkanku terlalu pagi.
Kalau saja aku tidak ingat ada adikku satu-satunya kini berada di pedalaman
Sumatera, dan salah satu kemungkinan alasan dari banyak alasan nomor telponnya
menghubungiku sepagi ini adalah karena bisa saja dia telah dicakar beruang tadi
malam, aku tidak akan mengangkatnya. Dan sekarang Gwen, kamu sedang memaksaku
menjawab apakah aku sedih, terpuruk, menangis? Oke, aku jawab. Iya, iya aku
sedih aku berpisah dengan Maria. Apa aku terpuruk? Tidak juga, aku masih bisa
memasak sarapanku sendiri, aku baik-baik saja. Apa aku menangis? Tidak Gwen,
atau mungkin belum? Tidak tahu. Tapi itu sudah lama Gwen... sudah dua bulan. Dan aku baik-baik saja.
Banyak yang berubah, tentu saja. Tapi kami sudah memutuskannya... Kamu juga
tidak perlu menghubungi Maria dan menanyakan hal-hal seperti ini. Maria juga
baik-baik saja... tidak sedramatis itu... Kalau kenapa aku tak memberitahumu,
karena, aku rasa...”
“bri.. bri... halo bri... kamu menangsi? Hah? Apa Bri?
“Aku tidak menangis. Gwen! Demi tuhan!” Brian berteriak.
“Bri. Aduh, maaf, sinyalnya jelek. Nah, nah... Bri... sudah
jelas?”
“Gwen... telpon aku lima menit lagi. Aku mau ke kamar mandi dulu.”
“Hah...”
Brian memutus sambungan teleponnya. Bangun. Melihat pintu kamar
mandi yang tak seberapa jauh dari tempatnya kini berada. Tangan kanannya
menopang berat badannya, Brian bangun. Telapak tangannya menutup mukanya.
Tangannya yang dingin menemukan hangat yang menguap dari nafasnya. Sudah lama
Brian tak bangun sepagi ini. Setengah enam, dan masih kurang beberapa menit
lagi. Brian menyambar sekenanya handuk biru yang teronggok di atas tumpukan
koran lawas. Menyenggol kaleng bir entah kapan. Sedikit terhuyung dan hampir
menabrak pintu kamar mandi di depannya. Menyalakan kran keras-keras. Dari kamar
mandi, terdengar suara nada panggil ponselnya.
Brian membasuh muka, dan mengelapnya dengan handuk di pundaknya.
Ponselnya masih berdering. Gwen, adiknya itu. Entah kenapa, untuk kali ini,
untuk kali ini saja, Brian ingin mengabaikannya. Sekali ini saja.
Gwen menelpon Brian sekitar sebelas kali. Tak satupun diangkat. Matahari
mulai tinggi dan menyengat, meski masih sepagi ini. Entah sudah berapa belas
nyamuk yang sudah mampir di betisnya yang tak terjangkau celana tidur tujuh per
delapan polos berwarna hitam. Mungkin Brian masih belum bisa bercerita tentang
perpisahannya dengan Maria.
Gwen mengirim pesan pendek. “Bri, i’m sorry to bother you this
early. Let me know if you’re okay enough to talk to me. Ak baik2 aja. Udh g ada
beruang di sini. Tp td ada babi lewat. Atau hubungi aku klo km udh mendingan.
:)”
Brian membuka pesan Gwen. Membacanya sampai tanda titik dua dan
kurung tutup andalannya itu. Brian bisa membayangkan Gwen yang tersenyum. Gwen
memang selalu tersenyum seperti itu. Gwen selalu menutup kalimatnya dengan
senyum lebar yang menarik cantik dua sudut mulutnya itu. Mengingat Gwen yang
selalu berkata seakan tanpa dosa, seberapapun menyebalkannya dia, membuat Brian
tersenyum. Brian merindukannya.
Brian hanya perlu memencet dua tombol ponselnya sebelum ponsel
Gwen berbunyi.
“Bri...”
“Gwen. Kamu punya waktu berapa lama untuk mendengar aku bercerita?”
“All is yours, Bro! Aku hari ini libur.”
“Oke, cari tempat paling nyaman di pinggir hutan itu...”
“Oke, bentar Bri. Aku balik ke tempat tadi dulu. Hold, hold. Hallo
Bri, jelas nggak suaraku Bri... jelas nggak?”
“Jelas...” Brian menjawab enteng. Terdengar suara tawa Gwen di
sana. Sementara itu sudah cukup menghiburnya. Dan pucuk mata Brian menangkap
dua kaleng bir sisa entah kapan. Dan beberapa kaleng bir yang menumpuk di
tempat sampah dekat pintu menuju kamar mandi.
“Bri... Hai...”
Suara Gwen yang bercampur tawa itu membuatnya sadar sepenuhnya.
Brian siap bercerita.