Tiga
bulan berada di daerah penempatan, masih ada satu ketakutan besar yang
memayungi kepala saya.
Ketakutan
yang sama, yang menggantung, bahkan sejak masih mengikuti tahap seleksi.
Mungkin bahkan sebelum mendaftar. Atau lebih jauh lagi, sejak ketika dulu ingin
mengikuti program ini, yang menyebabkan saya tidak pernah cukup tertarik dan
mau untuk mendaftar, sampai akhirnya keberanian, atau keisengan itu datang.
Keberanian atau keisengan itu pun, datangnya bukan karena saya telah
mengalahkan ketakutan itu sebenarnya. Keberanian atau keisengan itu datang dari
banyak hal lain yang lebih rumit, yang keluar entah dari mana dan mendorong
saya untuk melangkah ke sini.
Dan
kini saya berada di sini.
Ketakutan
itu sebenarnya sudah terjawab. Tapi, ketakutan tetap ketakutan. Kadang kita
sudah berkata, “Hadapi, hadapi!”. Namun tetap saja, ketakutan adalah ketakutan.
Kita tahu itu masih ada jika kita masih merasakannya. Kita tahu kita belum
mengalahkannya. Karena begitu saya mencoba menghadapinya, ketakutan itu justru
semakin nyata. Dan pada akhirnya, saya tahu saya tidak bisa mengalahkannya. Dan
pada satu titik, sepertinya saya akan mengalah saja.
Dan
titik itu adalah kini. Sekarang.
Saya
takut saya tidak bisa mengajar di depan kelas. Saya takut, apa yang saya
sampaikan tidak tersampaikan pada anak murid saya. Saya takut, anak murid saya
tidak belajar apa-apa dari saya. Menakutkan bukan, menjadi seorang guru di
depan kelas, dan anak muridmu tidak belajar apa-apa darimu? Betapa sia-sia.
Dan
jawabannya, iya, saya bukan guru yang baik. Saya tidak bisa mengajar. Saya
berdiri, mengangkat tinggi-tinggi lengan saya, mengibarkan bendera kekalahan
saya. Sudahlah, saya tidak bisa. Saya kalah.
Awalnya,
saya bersiap masuk kelas dengan jutaan ide untuk belajar ini-itu dan melakukan
ini-itu. Namun sering saya keluar kelas dengan dada bergemuruh. Agaknya saya
marah. Lebih ke diri saya sendiri, yang kehabisan ide harus bagaimana
menyampaikan apa yang ada di kepala saya atau bagaimana membuat kelas saya
menjadi menyenangkan seperti di iklan-iklan susu pertumbuhan. Bukan hanya otak
pintar dengan banyak nilai A yang harus dimiliki seorang guru, ternyata. Tapi
juga kesabaran yang selevel dengan mbak-mbak di sinetron RCTI yang selalu sial,
dibenci mertua, dibenci teman kerja, dislingkuhi suami, harta habis karena
ditipu, tapi tetap sabar dan tawakal. Dan di sinilah saya: bukan kolektor nilai
A dan tentu saja, bukan orang yang sabar juga. Sebelumnya, saya mencatat,
banyak orang bilang saya keras kepala, argumentatif, dan cendrung kurang
peduli. Saya bukan orang yang sabar.
Saya
tidak tahu rumusan-rumusan IPA, yang tersederhana sekalipun. Saya gampang
bingung di pelajaran Matematika. Saya tidak bisa bernyanyi, satu-satunya
prestasi menyanyi saya adalah mendapat nilai 99 di Inul Vista waktu nyanyi
Yellow, itu juga dengan teriak-teriak. Saya juga tidak bisa menggambar. Saya
tidak bisa menari cantik. Apalagi main alat musik. Hahaha. Matilah saya!
Dan
ketika saya masuk di kelas rendah, ketika itu saya sadar anak-anak tak
selamanya menggemaskan. Mereka lebih sering mengesalkan. Dan entah kenapa saya
cukup setuju dengan pola konvensional guru yang membawa mistar atau bambu untuk
mengintimidasi mereka. Sekali dua kali dihentakkan ke meja atau papan tulis.
Sungguh segala tepuk-tepuk itu akhirnya menjadi sekedar tepuk. Dan
kesepakatan-kesepakatan sepertinya memang ada untuk dilanggar. Saya sedikit
menyesal kadang kurang memperhatikan materi pelatihan. Agaknya memang
benar-benar berguna di penempatan. Saya bahkan sedang berencana untuk membuat
bilah bambu saya sendiri. Saya bawa-bawa begitu masuk kelas, kayaknya seru.
Saya
juga awalnya ingin menjadi guru yang menyenangkan. Itu loh, yang seru, lucu,
pemerhati, banyak senyum, visioner, buat ini, buat itu, yang semacam itulah.
Tapi kadang saya juga kacau. Saya lebih sering kacau. Agak linglung dan bingung
karena ada yang dipikirkan atau memang tidak punya ide apa-apa di saat itu.
Super ngantuk karena malamnya tidak bisa tidur dan kepikirian pulang, pulang,
pulang atau mikir nggak jelas sambil bertanya-tanya, “Ngapain saya di sini?”.
Ingin bercerita, tapi tidak tahu ke siapa atau tepatnya, bagaimana. Menulis di
buku tulis yang disulap menjadi buku harian pun, akhirnya hanya menulis “Hari
ini makan ini... tadi si ini, ini. Si itu, itu....” Mencoba membuka laptop,
akhirnya malah nonton film, filmnya yang itu-itu juga, sampai hafal beberapa
percakapannya. Mendengarkan lagu, dan Daft Punk sungguh tidak OK untuk
didengarkan di talang. Membaca buku, gelap. Baca dari tablet, pusing. Lagian
isinya buku strategi promosi, apaan juga. Kadang akhirnya seperti ini,
menulis-nuliskan hal-hal yang tidak terlalu penting. Seperti biasa. Sering juga
saya berfikir untuk sejarang mungkin pergi ke kota. Tapi seneng juga ketika ada
agenda di kota dan harus keluar talang. Meski kalau boleh memilih, kalau sudah
di talang, saya inginnya di talang saja terus. Malas nian harus bersiap-siap ke
kota, mempersiapkan ini-itu, merepotkan bapak di talang karena harus mengantar
hingga dusun pagi-pagi sekali. Tapi ketika sudah sampai di kota, malas pula
balik lagi ke talang. Entahlah. Mungkin saya ketakutan untuk masuk kelas.
Begitulah
yang terjadi tiga bulan ini. Dan kini.
Saya
tahu saya tidak akan menjadi semua itu. Sejak awal saya tahu itu. Saya bukan
orang yang sama dengan mereka yang kisahnya pernah saya baca. Saya tidak
seoptimis itu. Saya tidak sepositif itu. Saya tahu saya kalah. Telak.
Dan
ketika saya berkata saya kalah, langkah saya terasa ringan. Sangat ringan.
Lebih ringan.
Saya
tidak peduli orang akan berkata apa. Saya bahkan sudah tidak ambil pusing apa
anak-anak suka sama saya atau tidak. Saya kadang memberi anak-anak hukuman.
Saya kadang marah di kelas. Saya kadang tidur juga di kelas, kami tidur
bersama. Saya membebaskan mereka belajar apa saja. Saya cuekin saja anak-anak
yang menangis atau berantem, “Ngape nangis ngadu ke ibu? Hendak minta ibu
nganceni dengan nangis? (Ngapain nangis mengadu ke ibu? Mau minta ibu nemenin
kamu nangis?)” dengan nada sinis; atau “Lajulah bezakat, ibu hendak nyubo sape
yang menang. (Teruslah berantem, ibu mau lihat siapa yang menang)”. Meski anehnya,
mereka lalu diam. Mungkin mereka bingung.
Saya
berangkat sekolah tanpa beban. Saya tahu di sini saya tak akan lama. Perlahan
saya akan dilupakan. Dan saya dari tadi tak pernah bicara tentang mereka.
Padahal mungkin ini adalah tentang mereka. Karena pada akhirnya, mereka-mereka
sendiri, siapapun itu, adalah penentu dari tiap langkah mereka sendiri
nantinya. Mereka punya hidup mereka sendiri, yang telah dan akan bersinar
dengan sendirinya. Tanpa harus ada saya atau siapa pun untuk menyalakannya.
Pintarlah
pintar mereka yang memang ditakdirkan pintar dan mau berusaha menjadi pintar. Mungkin
memang harus ada mereka yang dianggap kurang pintar, sehingga akan ada mereka
yang nantinya disebut pintar. Mungkin memang harus ada mereka yang disebut
kurang beruntung, sehingga orang yang merasa beruntung akan kian merasa
beruntung. Itu kan hanya label, kita pun tidak tahu siapa yang membuat standar
itu dan untuk apa pula standar itu dibuat. Sudahlah. Oke, ini sinis sekali.
Tapi bukankah begitu?
Ini
adalah tentang kegelisahan saya. Kemarin dan sekarang. Kini.
Mungkin
benar, jika menjadi orang baik itu susah dan melelahkan, barangkali memang
lebih mudah untuk menjadi diri sendiri saja. Meski dengan menjadi bukan orang
baik. Dan bagi saya kini, meski bukan guru yang baik.
Saya
sadar sekali itu. Kini.
Setelah
tiga bulan. Setelah salah satu murid saya keluar kelas dan bilang pada saya, bahwa
dia tidak mau belajar dengan saya, yang lalu saya persilahkan keluar kalau
memang tidak ingin belajar. Mata dia menatap tajam ke saya, saya balas menatap
tajam mata anak kecil 7 tahun itu. Sebelumnya, anak itu menggebuk-gebuk meja
dan teriak-teriak pada saya, sepertinya hari itu dia sedang tidak suka dengan
saya, dan dunianya. Atau Saya melanjutkan
tanya jawab angka-angka dan cara menulisnya dengan anak-anak lainnya yang
jelas-jelas menunjukkan antusis belajarnya. Sebelum dia keluar, dia sempat
menendang kursinya. Saya pura-pura cuek. Tapi tunggu, sebenernya saya
gemetaran. Saya berjanji akan mengajaknya bicara istirahat nanti. Kelas berjalan
lagi, anak-anak kembali melihat papan tulis. Bergantian memandangi kawannya
yang barusan keluar dan saya. Saya tersenyum saja dan lalu mengajak mereka belajar
lagi. Satu menit, dua menit, lima menit, sepuluh menit: dia masuk kelas lagi
dan menghampiri saya. Tersenyum dan bertanya, apa dia boleh belajar lagi, yang
tentu saya jawab kalau dia boleh belajar kapan saja dan belajar apa saja. Dia tertawa,
duduk kembali. Ikut mengacungkan jari ketika saya melempar pertanyaan,
berteriak kencang mencoba menjawab soal. Seakan sebelumnya tak terjadi apa-apa.
Ajaib
bukan? Bagaimana seorang anak berdamai dengan apa yang dia alami. Dia dengan
mudah melupakan sesuatu yang membuatnya tidak nyaman sebelumnya, bahkan mungkin
amarahnya. Hal yang kian sulit kita, saya, lakukan akhir-akhir ini seiring
waktu membawa saya bertemu banyak hal yang membuat saya tidak nyaman. Hal-hal
yang menghampiri saya, dan mungkin kita semua, ketika beranjak lebih besar,
lebih dewasa, lebih menua. Dari sejak kita kecil, ternyata kita memang selalu
bertemu dengan banyak hal yang menyebalkan, hal yang kurang menyenangkan. Dari
kecil, kita memang selalu bertemu banyak “tuntutan”. Sepertinya memang harus
begitu dan akan selalu begitu.
Bermain.
Tertawa lepas. Kadang-kadang kalah. Lalu marah. Dan terus bermain lagi.
Mungkin
ini saatnya saya juga berdamai. Kini. Sekarang.
Malam
ini, kami sedang di kabupaten. Di kamar cewek, kami memutar The Beatles, lagu
yang dapat membuat kami bertiga, lebih sering saya dan Momo si, ikut bernyanyi.
Lagu-lagunya sederhana dan menyenangkan. Rasa-rasanya pas saja. Sambil
membayangkan jika hari-hari kita selanjutnya akan sesederhana pilihan kata-kata
dan tatanan nada-nadanya.
“Let it be, let it be...”
terdengar di speaker. Jelas terdengar sekarang.
No comments:
Post a Comment