Tujuan perjalanan singkatku kali ini agak padat.
Mendarat sekitar jam delapan dengan penerbangan pertama, lalu
bertemu orang dari kantor pusat, memberikan beberapa draft baru untuk rencana
tahun depan dan membicarakan laporan progres pekerjaan di cabang. Sorenya bertemu
Maria, lalu melewati malam tahun baru bersama keluarga besarnya. Kebetulan mereka
sedang berkumpul di kota ini. Makan malam bersama dan melihat pesta kembang
api. Sebelum kembali pulang dengan kereta api jam lima sore, siangnya aku
berjanji untuk bertemu Gwen. “Siangnya saja Bri, aku sedang tidak ingin
berpesta,” kilahnya ketika kuajak sekalian untuk merayakan malam tahun baru
bersama keluarga Maria. Sedang tidak ingin berpesta, katanya. Kukira Gwen
memang sudah cukup kenyang melewatkan pesta demi pesta. Apalagi sekedar melihat
kembang api warna-warni dan minum segelas dua gelas wine. Tapi sebenarnya Gwen
hanya kuat minum segelas wine. Dia gampang mabuk. Minum sebotol kecil bir saja
Gwen sudah teler. Kalau tidak bolak-balik ke kamar mandi dan bicara terlalu
banyak, ya ketiduran dan mulai mengigau tak jelas. Tapi Gwen memang banyak
bicara. Kelihatannya saja pendiam dan pemalu. Berikan satu pertanyaan padanya,
Gwen akan menjelaskan panjang lebar seperti tak ada waktu lain untuk sekedar
bercerita karena sebentar lagi dunia akan hancur lebur. Meski pada orang yang
tak dikenalnya, atau baru dikenalnya, Gwen memang nampak tak mampu bicara
banyak selain menjawab “iya,” “tidak,” atau “tidak tahu.” “Aku tidak bisa
percaya begitu saja pada orang yang tak kukenal,” katanya. “Lagi pula aku tak
tahu maunya semua orang. Kukira, secerewet-cerewetnya kita, tidak semua orang
akan menerima juga. Katanya kalau bicara dengan orang baru harus hati-hati. Bukan?”
lanjutnya. Terakhir bertemu Gwen sebenarnya tiga minggu lalu. Tapi sayang tak
sempat banyak bercerita. Gwen diburu waktu karena harus menyelesaikan urusan
pekerjaannya. Kami hanya sempat bertemu sebentar, tak ada juga setengah jam.
Kami hanya sempat bertanya kabar dan aku memberikan buku yang sudah kujanjikan
untuknya. Buku lawas kumpulan surat Kartini dan dua buku yang baru kuedit,
untuk kado ulang tahunnya. “Untuk Gwen, yang ingin jadi guru,” kataku. Gwen
tertawa seperti hantu pemakan bayi dalam dongeng orang Jawa seperti biasa. “Aku
masih punya beberapa buku yang belum kubaca, tapi aku janji aku akan segera
membacanya,” jawabnya setelah berterimakasih. “Mana satu buku lagi yang mau kau
pinjamkan?” Ah, dia ingat rupanya. Aku berjanji untuk meminjaminya satu buku
klasik, setelah pada satu siang dia mengirimiku pesan singkat, “Buku
Boris Pasternak terbitan Djambatan 200rb-an itu mahal tidak?”, yang kujawab, “Kemahalan.
Di sini 70 ribu. Tak usah beli kalo merasa kemahalan, nanti kupinjami punyaku.” Gwen tahu buku itu
dari seseorang, entah siapa, yang
membuat lagu mendayu karena salah satu tokoh di buku itu. Siang itu, dia
bercerita tentang seseorang itu. Seorang laki-laki, tentu saja. Anehnya, aku
tidak khawatir. Laki-laki ini, aku yakin, tidak akan
membuatku merasa khawatir, setidaknya sampai siang itu. Karena jika tentang
seorang laki-laki dan Gwen, ada yang lebih membuatku khawatir. “Oke, terus
bagaimana kabar orang yang ingin kau kenalkan padaku itu?” wajah Gwen berubah drastis.
Ada huruf “O” seperti menggantung di wajahnya, mulutnya menganga karena kaget
kalimatnya kupotong, sementara bola matanya bergerak mencari jawaban,
menjelajah segala benda yang ada di meja. Lalu Gwen tersenyum manis. Bertanya “Yang
mana?” Pura-pura lupa. Kusambut dengan tertawa saja dan beruntung karena
akhirnya Gwen benar-benar lupa. “Bri, aku jarang sekali ketemu kamu. Setahun
sekali saja sudah sangat beruntung. Aku tidak akan bercerita tentang hal-hal
tak menyenangkan. Tapi mungkin kamu harus tahu, laki-laki yang ingin kukenalkan
padamu itu, mungkin tak akan pernah kukenalkan padamu…” ucap Gwen akhirnya,
sebelum pamit. Ternyata dia tidak lupa. Dia sedari tadi menata kata-kata. “Kenapa?”
kutanya. “Karena dia tak menyukaiku. Mana mungkin kukenalkan padamu.” “Kenapa
dia tak menyukaimu? Dan, apa dia harus menyukaimu untuk sekedar
kaukenalkan padaku?” Aku agak penasaran. “Aku tidak tahu. Mungkin aku
menakutkan… Dan ya, dia harus menyukaiku terlebih dahulu sebelum kukenalkan
padamu…“ Gwen tertawa. “Kenapa?” aku masih bertanya. “Berhenti bertanya kenapa,
Bri…” Gwen mulai malas. “Karena kamu akan membencinya, jika tahu dia tak menyukaiku, Bri…” lanjutnya. “Karena kamu menyukainya?” tanyaku lagi. Gwen hanya
tersenyum seperti biasa, ketika ia ingin menjawab “Ya” tapi dia tak ingin
menjawabnya. “Bri, antar aku ke depan…” pembicaraan selesai. Selama ini aku
selalu awas, jika Gwen mulai bercerita tentang orang-orang di sekitarnya,
terutama jika itu adalah tentang seorang laki-laki. Meski aku tak selalu mengingat
nama-namanya, akan selalu ada beberapa detil cerita yang mengusik. Bukan hal
mudah untuk melihatnya menatap nanar ke sekitar dan mulai menangis. Tak selamanya
tentang laki-laki, tentu saja. Hanya satu nama yang pernah membuatnya menangis di
pagi buta. Tak bisa tidur dua malam. Dan setelah hari itu, hari-harinya
perlahan berubah. Sejak itu, ada bulan-bulan di mana Gwen tak terkendali,
begitu istilahnya dulu. Terbang ke sana ke mari seperti kain tipis terlepas
dari lipatan dan tertiup angin bulan Oktober yang kering dan kencang. Meski bagiku,
justru itulah waktu di mana Gwen benar-benar memegang sendiri
keinginan-keinginannya. Hidup Gwen, hiduplah. Hidup seperti yang selalu kau
inginkan. Dan jangan jatuh cinta lagi. Tapi aku tak pernah mengatakan yang
terakhir. Siapa aku melarang Gwen jatuh cinta lagi? Kukira pun Tuhan, tak ingin
Gwen tak jatuh cinta lagi. Gwen mempercayai Tuhan, jadi kupikir pertimbangan
Tuhan yang tak akan melarang hambanya jatuh cinta akan menjadi jawaban Gwen
jika aku bilang padanya, “Gwen, jangan jatuh cinta lagi.” Kadang aku berharap,
bahkan pernah berdoa juga, agar Gwen jatuh cinta saja pada laki-laki yang juga
menyukainya. Bukan malah mengejar-ngejar laki-laki entah siapa, yang ujung-ujungnya
tetap tak akan memilihnya. Bukan apa-apa, hanya saja, bukan hal mudah untuk
melihatnya menatap nanar ke mana saja dan lalu mulai menangis. Termasuk ketika
ia bersama dengan laki-laki yang mencintainya tapi Gwen tak bisa jatuh cinta
setelah sekian waktu bersama. Ujung-ujungnya sama saja, ternyata. Alasan lain
kenapa aku tak berani mengatakannya, juga karena hal ini. Karena sesungguhnya, siapa
pun tak akan mampu menahan gembira yang sama ketika Gwen jatuh cinta. Matanya
bercahaya. Detil kecil tentang roti hangat isi daging pun rasanya seperti kau
memakan hidangan dari surga. Rasanya tak lekas hilang dari lidah. Gwen memiliki
kemampuan untuk menularkan keriangan semacam itu. Jadi kupikir, kenapa ada seorang lelaki yang tak menyukainya? Ada yang mampu untuk tak menyukainya? Yah, meski, tentu
saja, Gwen kadang menyebalkan. Apa mungkin karena itu? Bisa jadi. Tapi, kukira,
ada lebih banyak alasan untuk menyukainya daripada untuk tidak menyukainya. Bahkan jatuh sayang padanya. Kukira…
dalam perkiraanku saja. Bukan dalam perkiraan laki-laki itu, atau siapa pun. Gwen, Gwen...
Ah, sudah hampir mendarat. Meski Gwen sedang tak ingin berpesta, sepertinya dia harus ikut aku malam ini. Aku harus bilang padanya, “Gwen, bangun! Hidup
Gwen, hiduplah. Jangan jatuh cinta lagi. Ini yang terakhir.” Aku tak harus
menunggu hingga tahun depan dan membiarkan adikku itu merana sendirian nanti
malam.