“Perempuan adalah satu dari tiga konsumen potensial, selain youth
dan netizen,” ujar Nastiti Tri Winasis dari MarkPlus Insight dalam sebuah
artikel.
Dan jika, saya adalah seorang perempuan, masuk dalam kisaran usia
muda, dan, kebetulan, hampir 12 jam sehari tidak dapat terpisahkan dengan
internet dan media sosial, lalu, apa kabar saya?
Fikri, kawan kampus yang kini di PR agency, beberapa hari lalu
memposting cover Marketeers bulan ini dengan headline, WHAT WOMEN THINK:
Memahami Hasrat dan Kegalauan Konsumen Wanita Indonesia. Seingat saya, agency
tempat Fikri bekerja memang memegang klien salah satu merek produk kecantikan
perempuan. Selain karena illustrasi cover-nya yang sangat menarik, sebagai
perempuan saya jelas ingin tahu.
Selama ini, bagian paling menarik dari “menjual” sesuatu, bagi
saya adalah memahami consumer behavior. Mencoba mengerti karakter orang-orang
yang akan kita ajak untuk membeli. Meski hasil riset tetap menjadi acuan, tapi angka-angkat itu tak lebih berarti dari
penguat analisis mengawang dan menduga-duga dan berasumsi dan penjelas dari
kata “biasanya sih yah…”. Dan, seringnya benar. Menantang sekaligus agak
sentimentil. Seperti sedang melihat kawan sendiri, orang tua sendiri, atau
malah seperti berkaca. Meski memang, walaupun sudah memiliki kelompok tipikal
konsumen tertentu, setiap pribadi pada dasarnya unik. Nah, ini serunya.
Bahkan saya punya satu kawan, dimana kita sering duduk lama di
satu pusat perbelanjaan demi memperhatikan orang-orang yang berseliweran. Mengamat-amati
apa yang orang-orang lakukan. Pengalaman yang sama juga kami rasakan ketika
menaiki kendaraan umum, di jalan, di antara ramainya festival, bazaar atau
pameran produk. Bagi kami, di situlah observasi yang sebenarnya.
Kembali ke hasil survei MarkPlus tentang kegalauan konsumen perempuan
di Indonesia, hasilnya unik. Nggak heran, semua media akan bilang Indonesia
adalah salah satu tonggak ekonomi masa depan. Terelpas dari masalah
berkembangnya pendapatan atau apalah, saya nggak ngerti. Sebagai pihak yang
dipercaya sebagai penentu keputusan pembelian yang sangat potensial, perempuan
Indonesia ternyata maunya banyak.
Di sana digambarkan bahwa keinginan perempuan Indonesia itu
terangkum dalam konsep WOMEN: Well-being, Optimist, Multitasking, Entrepreneur,
and Networker. Kurang lebih dijabarkan dalam beberapa kebutuhan, yaitu: kebutuhan
untuk merasa aman, berpikiran optimis, mampu menyeimbangkan urusan domestik dan
karier, serta memiliki jaringan luas untuk membuka kesempatan yang lebih besar.
Saya lalu teringat artikel-artikel majalan perempuan yang selalu menggambarkan
perempuan ideal macam itu. Meski sebenarnya, tiap poin itu akan bisa dijabarkan
lebih panjang lagi. Seperti misalnya, kebutuhan merasa aman bagi seorang
perempuan muda dan single, menikah, atau single parent tentu akan berbeda.
Seru yah?
Meski agak ngeri juga. Hei, saya juga perempuan soalnya. Hhha.
Banyak hal tiba-tiba berputar-putar. Diantaranya: pertanyaan saya
yang sampai sekarang masih sering saya tanyakan ke diri saya sendiri atau siapa
saja ketika dapat satu brief baru, “Kita mau ngikutin maunya orang, atau kita
mau bikin orang mau ngikutin apa yang bakal kita bilang?” atau bahasa kerennya
di buku iklan, “following their need or creating need?”; pertanyaan dosen saya
yang dulunya orang MarkPlus, ketika dulu saya presentasi creative strategies
tugas iklan, “Ini kalian dapat konsep ini dari mana? Dari mimpi, wangsit, atau
apa?” kampret!; pertanyaan mantan pacar
saya yang bikin saya kesel mampus dan lalu mikir banget buat minta putus, “kenapa
perempuan harus menggunakan lipstick padahal mereka nggak butuh lipstick itu?
Itu semua gara-gara iklan.”
Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan
itu, sebenarnya adalah: dari riset. Khususnya dengan memahami consumer behaviour.
Ya setidaknya itu yang saya pikirkan sekarang.
Dengan riset, apapun metodenya, kita bisa nemuin mau ngikutin mau
orang-orang atau kita bikin mereka yang ngikutin kita akan terjawab dengan
melihat bagaimana kebiasaan orang-orang sekarang. Dengan riset, kita bisa bikin
strategi komunikasi dan konsep kreatif, dengan riset pula, saya tahu kalau
kenapa ada lipstick juga karena dari waktu ke waktu sudah terbukti kalau
perempuan terobsesi pada tampilan yang apik, dan kemajuan jaman mengganti daun
sirih dengan lipstick.
Dan, perempuan-perempuan Indonesia ini semakin unik ketika kita
menarik gambaran kondisi kita yang, kalau menurut saya, berada di antara ide
tentang menjunjung adat, taat menjadi umat, dan menjadi perempuan modern. Kondisi
ini, adalah peluang besar untuk berjualan bagi para penjual. Dalam artikel,
dicontohkan fenomena berhijab.
Isu ini memang menarik banget dua atau tiga tahun belakangan ini. Di
dunia mode, bahkan menenggelamkan ide tentang mode Indonesia yang dirintis
sejak tahun 80-an. Karena, yaitu lagi, konsep tentang menjunjung adat yang
menggambarkan perempuan itu harus baik, bla, bla…. Taat menjadi umat dengan
menutup aurat, dan perempuan modern yang tetap modis. Oke, bukan berarti saya
nggak setuju yah, bagi saya pribadi ketika perempuan-perempuan berlomba-lomba menjadi
good girl semuanya itu bagus dong, karena saya sendiri nggak bisa melakukaknnya,
suliit! hhe. Sementara, konsep tentang mode Indonesia, yang lebih avant-garde,
nggak bisa semudah itu diterima oleh perempuan Indonesia. Ajakan untuk
menggunakan hijab dan pakaian tertutup, plus menjadi lebih baik di mata Tuhan,
tentu akan lebih mudah diterima daripada dengan menjadi perempuan Indonesia
yang berpakaian kain-kain tradisional dan lebih mengenal kekayaan busana daerah
dan nasional. Kayaknya gitu sih.
Unik kan? Jadi, di sini peluang pasar baru terbuka.
Ini ngapain juga saya pagi-pagi nulis ginian. Orang-orang juga
udah pada tahu kali. Hhha.
Okelah, intinya dari baca riset ini: iya, perempuan Indonesia itu
gampang galau, bok! Udah si, jangan denial. Kondisinya memaksa kita jadi galau,
halah! Itu padahal cuma milih produk. Bayangin dalam milih hal-hal lain??