Akhirnya,
saya mulai bisa menikmati Jakarta.
Starting a: cak, cak, cak, cak, caaak! *my fav pic* |
Meski belum
terbiasa dengan macetnya yang luar biasa, Jakarta sepertinya mulai membuat saya
jatuh suka. Membuat saya penasaran dan mencari tahu ke dalam-dalamnya. Jakarta
punya apa lagi ya? Jakarta bisa kasih saya apa lagi ya?
In its positive ways, indeed.
Pertama,
mulai dari mall dengan konsep yang, kata teman saya: urban. Tidak terlalu
besar, tidak melulu berisi toko produk penghias majalah mahal. Desainnya
menarik, dengan ornamen-ornamen yang membuat anak kampung seperti saya
terkagum-kagum. Apalagi sering ada bazar label-label indie lokal yang beda,
kata teman saya lagi: saya banget. hhhaaa. Dan, harganya juga tidak terlalu
mahal. Bukankah ini penting? Tidak seperti salah satu mall high-end yang pernah saya datengin, emang terkenal sih, tapi saya
terlalu capek buat jalan karena terlalu luas ditambah tidak ada barang yang
layak ditaksir. Rasanya kayak bukan ke mall. Tapi mau bagaimana lagi? Di
Jakarta, sepertinya mall memang bukan hanya untuk belanja, seperti yang saya
tanamkan ke diri saya sebelumnya, ke mall kalau ada perlu aja. Tapi mall di
sini lebih seperti public space,
tempat orang berekreasi.
Meski,
sebenarnya berekreasi di dalam mall sepertinya bukan pilihan yang baik. Tapi
apa daya, tidak ada ruang lainnya, atau memang saya yang belum mengenal
Jakarta. Karena mall memang mudah dijangkau dan mereka berusaha menyediakan apa
yang orang butuhkan. Misal saja, jika kawasan Kemang menjanjikan area rekreasi
yang lebih ramah, tapi lokasinya sulit dijangkau. Sementara mall-mall berasa di tengah kota dan mudah dijangkau dari mana saja.
Tapi, kalau
mau jeli. Kita bisa kok, tetap rekreasi tanpa harus ke mall.
Seperti
halnya kota besar lainnya, Jakarta juga punya ruang-ruang kesenian, lebih dari
satu malah. Begitupun perpustakaan umum. Dan, tentu saja, bakal nggak lengkap
tanpa flea market, atau pasar barang
bekas. Favorit saya.
Saya sangat
bahagia ketika akhirnya bisa menginjak Pasar Senen, di lantai 3 tepatnya. Meski
harus menahan bau yang kurang sedap, tapi pemandangan baju-baju vintage ala
flea market cukup bisa menahan saya sekitar dua jam di sana. Meski tidak
berhasil membawa pulang satu potong pun, tapi saya pasti akan ke sana lagi besok-besok lagi.
Perasaan
sama juga saya rasakan ketika berada di lantai dasar Blok M, plaza yang
sepertinya sangat padat dan tidak recommended
bagi saya yang pusingan kalau lihat banyak orang berlalu lalang. Ingat film
“Ada Apa Dengan Cinta?” dimana Rangga mengajak Cinta ke Kwitang? Nah, kompleks
yang terkanal karena buku-buku bekasnya itu direlokasi tapi tidak terpusat.
Para penjualnya menyebar ke berbagai titik, salah satunya di basement Blok M
ini. Tanpa tanggung-tanggung, saya berhasil membawa pulang tiga buku karya
penulis favorit saya cetakan awal asli yang masih rapi dan satu bendel versi
tahunan majalah lokal favorit saya. Tempat melarikan diri selanjutnya sudah
ditemukan.
Ada juga
daerah Cikini, Taman Menteng, dan Taman Amir Hamzah. Jalan-jalan di sini nggak
kayak lagi di Jakarta. Tapi kayak lagi di Batavia, Jakarta beberapa abad lalu. Di sana ada perpustakaan
yang cocok buat ngadem dan taman dengan beberapa anak sekolah serta bapak penjual
es yang ramah. Waktu saya ke sana si, nggak macet sama sekali. Dan, yang pasti,
adeeeeeem. See? Not Jakarta in your mind,
right?
Beberapa waktu lalu, saya mampir ke GKJ.
Berdua kawan baik saya, kami menonton pentas tari. Seperti halnya pentas tari yang
diselenggarakan sebuah sanggar tari, tarinya tari-tari tradisional yang belum
banyak digubah. Dan, tentu saja, penonton didominasi para orang tua dari
anak-anak yang pentas malam itu. Apalagi ada puluhan anak-anak yang naik
panggung. Tapi bagi saya yang ingin kenalan dengan Jakarta, malam itu terasa
sempurna.
Kompleks GKJ
di daerah Pasar Baru tidak terasa seperti Jakarta yang lainnya. Lukisan di pinggir
jalan, pasar dengan gapura seperti layaknya pasar pecinan jaman dulu, kantor
pos tinggi dengan bangunan gaya abad ke-19, dan jalanan yang sepi. Padahal
sebelumnya jalanan macet, karena malam minggu.
Banyak
alasan untuk membenci Jakarta. Tapi mungkin masih banyak lagi alasan untuk
mencoba mencintai Jakarta.
Terjebak macet di dalam Trans Jakarta dengan
posisi berdiri itu tidak enak. Bisa memperbaiki bedak dan memakai parfum di
dalam taksi memang nyaman, tapi argo yang terus berjalan ketika macet sehingga
harus membayar tiga kali lipat harga tidak macet juga nggak enak. Mengendarai
kendaraan sendiri juga bukan pilihan menyenangkan. Saya nggak kebayang harus
jatuh berapa kali jika mengendarai motor sendiri di sini. Kalau naik mobil
sendiri, ehm, mobil siapa yah maksudnya, maaf?
Tapi kalau
mencoba lebih jeli dan sabar dan tetep positif thinking, akan banyak hal mengejutkan
dari Jakarta. Dan saya sedang mulai mencari tahu.
Café Rolling
Stone itu. Ke Aksara yang sudah dijanjikan, tapi
belum kesampaian. Ke Salihara. Ke Ruang Rupa. Wauw…
Sudahlah,
lupakan jeleknya Jakarta. (mungkin gubernur baru bisa membuat Jakarta lebih
nyaman? Semoga)
Berikut,
beberapa oleh-oleh dari pentas tari tempo hari. Agak buram? memang. :)
Tari Pembuka |
"Anak-anak bersuka ria, bermain dalam dunianya," kurang lebih gitu narasinya :) |
Inilah rahasia musik Bali yang indah itu... |
The Kids Are All Right |
Mereka mulai bermain |
cakcakcakcaaak |
cakcakcakcakkk |
cakcakcakkkk |
ini indah :) |