“... inventing elaborate scenarios featuring myself as an adult,
specifically an adult 24 years old, an age on which I settled because my mother
had assured me that 24 was the best, her favorite year. Over those years during
which I was determined to bypass childhood, she and I discussed this question
of age at a length she must have found tedious, but perhaps she did not: We are
talking here about a woman ...”
In Sable and
Dark Glasses, Joan Didion
(young) Joan Didion |
Mungkin
hanya kebetulan, jika malam ini saya baru saja membaca esai itu. Membaca
ingatan Didion akan perbincangan kecil dengan ibunya tentang menjadi 24 tahun.
Membandingkan ide tantang menjadi 24 dalam kepala Didion kecil dan menjadi 24
bagi ibunya.
Menjadi 24 dalam benak Didion
adalah mengenakan mantel bulu dan kacamata hitam, menghindari paparazzi di
salah satu negara Amerika Selatan. “My
own fantasies of what life would be like at 24 tended to the more spectacular.
In these dramas of my own devise I was sometimes wearing a sable coat, although
I had never seen one. I was wearing this sable coat in an urban setting that
looks in retrospect not unlike Shubert Alley. I was at other times walking on a
moor, although I had not yet read those English novels in which moors figured
heavily. But here is how I most often preferred to visualize myself: not on a
moor, not in Shubert Alley, but standing on the steps of a public building
somewhere in South America (Argentina comes first to mind, although Argentina
was like the sable coat, never actually seen, more concept than reality),
wearing dark glasses and avoiding paparazzi.” Sedang 24 yang dilalui ibunya
adalah tahun terbaiknya. “I once asked
her what made 24 so memorable. It seemed that she had been married when she was
24. It seemed that I had been born when she was 24. It seemed that 24 was (I
can hardly believe our discussions of age deteriorated to this, but possibly
the lettuce cocktails had edged us both into a casino mode) her “lucky number.”
Ada kilatan kecil yang membuat
saya terpejam dan keras mengingat, adakah gambaran spesifik bagi saya setahun
atau dua tahun lalu, atau bahkan mungkin sepuluh tahun lalu, tentang saya pada
usia 24 tahun?
Saya yang seperti apa?
Saya tak berhasil mengingatnya.
Saya tak punya relfeksi detail tentang “siapa saya” pada usia yang lebih
presisi: 24 tahun. Saya hanya menyimpan keinginan kecil dan acak, seperti misal
tentang, lulus, bekerja dan belajar mandiri sebelum 25 tahun, atau
keinginan-keinginan lainnya dengan bayangan tentang melakukannya atau telah
melakukannya sebelum 30, sebelum 40, dan seterusnya yang belum pernah
terpikirkan. Nanti akan seperti apa bahkan saya tidak tahu. Bekerja apa?
Bekerja mandiri apa? Saya akan seperti apa?
Detail kecil tentang saya pada
usia diantaranya tidak ada. Saya melompatinya. Menggabungkannya menjadi rentang
dekade dalam klausa ide tentang seorang saya: seorang Diyah yang perlahan menua
dengan gambar samar tesaput kabut waktu.
Tiba-tiba itu menjadi menakutkan.
Karena pada akhirnya, memang hanya keberadaan kita di satu waktulah yang mampu menjawab
semua ide-ide kita sebelumnya. Kenyataan-kenyataan yang tak selalu sama, atau
bahkan tidak pernah sama dengan bayangan-bayangan yang pernah ada di kepala.
Pun perasaan yang hadir dan yang ada ketika satu hal terjadi, berlangsung...
semuanya adalah sesuatu yang baru. Sesuatu yang tak pernah terjadi sebelumnya.
Bahkan dalam momen de javu atau satu
momen yang membuat kita seperti merasakan hal yang sama di masa lalu (relational memory).
Bukan, bukan ide tentang menjadi
tua yang menakutkan bagi saya. Saya rasa saya siap menjadi tua. Hanya saja,
saya sedikit diajak berpikir sejenak tentang lompatan panjang yang saya buat
tentang diri saya sendiri. Seperti misal di angka ini. Saya tidak pernah
berpikir atau membayangkan tentang saya di usia 24. Atau mungkin karena saya
tak pernah membicarakannya. Atau mungkin pernah membicarakannya dan tak terlalu
mengingatnya karena dirasa tidak cukup penting dan signifikan untuk diingat.
Pun saya pernah menyimpan keinginan, saya tak menuliskannya secara langsung
dalam konteks usia. Saya hanya membayangkan tentang, tahun depan saya melakukan
ini... saya melakukan hal itu dua tahun saja, tahun depan kalau bisa mencoba
ini... dan seterusnya. Saya membawa keinginan-keinginan itu sebagai kotak-kotak
kecil dalam satu keranjang ingatan yang saya tenteng ke mana-mana. Sementara
keranjang usia saya tertinggal entah di mana, kosong tak terisi. Bahkan saya
melupakannya...
Sebelum beberapa menit lalu
ketika memulai menulis ini: saya menganggap bahwa keberadaan diri saya tidak
terikat sama sekali dengan rentang usia yang ditandai angka per angka.
Setidaknya saya menganggapnya demikian. Bahkan beberapa kali sempat terlupa.
Ya, sebenarnya bukan terlupa, hanya memang benar-benar tidak sempat
memikirkannya yang berujung pada kalimat bodoh ketika mengangkat telepon atau
membuka pintu kamar, “Oia, hari ini aku ulang tahun.” Atau pernah juga, sedikit menyemangati. Yaitu
ketika ada momen wisuda tepat di hari ulang tahun ketika saya 21 dulu, yang
lalu menjadi cambuk keras dan membuat saya menyelesaikan skripsi. Saat itu,
saya sedikit marah pada diri sendiri, seandainya saya tidak terlalu malas dan
bisa menyelesaikan skripsi dua bulan sebelum tanggal itu, saya pasti bisa
wisuda di hari ulang tahun saya. Pun kesadaran itu muncul jauh, jauh sekali
setelah hari itu berlalu.
Ketika bagi sebagian orang hari
lahir menjadi momen untuk seakan lahir kembali atau bersyukur sedemikian rupa,
seringkali saya melewatkannya. Saya ingin bilang, bukan saya tidak bersyukur,
tapi memang, saya sering melewatkannya begitu saja. Saya menganggapnya sama
seperti hari lainnya. Atau, kalaupun ada yang berbeda, saya akan melewatkannya
dengan orang-orang, yang, mungkin saya anggap spesial dan banyak berpengaruh
pada diri saya, sebelum atau bahkan setelahnya. Hingga jauh setelahnya.
Entah kebetulan entah bukan.
Meski saya tidak terlalu percaya pada kebetulan. Keinginan kecil yang saya
ucapkan setahun lalu menjadi kenyataan di hari ini. Bisa jadi ini merupakan
konspirasi alam semesta yang didukung dengan daya dan upaya sedemikian rupa.
Tapi saya masih meragukannya.
Saya ingat sore itu. Sehari
sebelum tanggal lahir saya, saya menemui Teh Imeh di Stasiun Manggarai. Saya
akan bermalam di rumahnya, memintanya menemani saya ke Kebun Raya Bogor.
Linimasa di Twitter sedang ramai tentang berita penyair yang dilaporkan polisi
karena menolak bertanggungjawab atas kehamilan seorang perempuan muda. Kami,
saya dan Teteh membicarakannya sambil berdiri berhimpit di dalam KRL hingga
Depok, atau mungkin lebih. Teteh membawa roast chicken Kenny Rogers. Kami
memakannya kemudian setelah sampai rumah, saya tak menghabiskan bagian daging
super besarnya. Teteh juga membuatkan air kunyit hangat. Teteh bercerita
tentang orang-orang yang ditemuinya terkait pekerjaannya, saya membolak-balik
buku Titik Nol, Agustinus Wibowo. Saya bilang, “Saya ingin ke Tibet.” Teteh
bertanya kenapa, yang saya jawab pasti, ingin melihat Yak. Teteh bercerita
tentang gambaran Tibet yang sama sekali lain dari Agustinus Wibowo dengan
gambaran Tibet yang mungkin saya pernah tahu sebelumnya. Saya lalu tidak
tertarik membaca buku itu, bahkan saya belum membacanya hingga sekarang.
Saya ingin ke Tibet. Lewat
Xinjiang, bertemu suku Uighur. Dan mungkin pulangnya bisa lewat Khatmandu. Atau
sebaliknya. Tapi saya ingin lewat keduanya. Kalau bisa. Saya juga tidak tahu.
Saya ingin melihat Yak.
Saya belum ke Tibet. Jadi
keinginan itu tidak ada sangkut pautnya dengan saya sekarang. Hanya saja, malam
itu kami bercakap tentang menjadi pengajar muda. Saya bercakap tentang, “Eh,
itu, saya ingin daftar... tapi masih ragu ini itu...” Lalu teteh bercerita
banyak tentang yang ia tahu. Sebenarnya saya masih belum yakin juga. Tapi
memang, beberapa hari setelahnya saya mengirim esai dan mendaftar. Menggunakan
komputer kantor, dengan dilihat head
section saya.
Meski demikian, saya menyadari
keinginan saya ketika itu bukanlah gambaran ideal saya setahun sebelumnya,
yaitu ketika saya 22 tahun. Saya melihat kejadian-kejadian yang berlalu tidak
berhubungan secara langsung dengan ide tentang angka-angka yang menunjukkan
jumlah usia. Itu semua terpisah. Dan saya baru menyadarinya sekarang. Bukan
saya mengkultuskannya atau bagaimana. Hanya saja, sekarang saya melihatnya
seperti dua aliran sungai yang bertemu dalam satu muara. Pada akhirnya,
variabel yang terpisah itu akan bertemu dalam satu titik untuk kembali dilihat
angka-angka persamaannya. Jawaban yang ditemukan tentu bukan asal jawaban jika
tidak ada soal-soal dan pertanyaan atau pernyataan yang mendahuluinya. Dan
titik itu, muara itu, bisa jadi akan berbeda bagi setiap orang. Dan bagi saya
kini, titik itu adalah ketika saya membaca esai Joan Didion dan kesadaran kecil
saya yang menyatakan bahwa saya baru saja menginjak usia 24 tahun.
Ada aliran panjang yang membawa
saya melaju hingga sekarang. Membawa saya berada pada keberadaan saya sekarang.
Menulis ini sejak satu jam lalu, hanya dengan memutar satu lagu, Hard to Live
(In The City) dari Albert Hammond, Jr. yang sangat tidak cocok menggambarkan
suasana saat ini: lampu sudah mati; hewan-hewan kecil mampir di layar monitor,
satu-satunya benda menyala di kamar; tadi saya memutarnya asal, dari list
penyanyi bernama depan A.
Aliran itu, adalah kepastian
tentang saya yang akan terus bertambah usia. Tanpa harus menunggu tanggal 1 di
tahun mana pun. Satunya lagi, adalah aliran dari kepala dan mungkin hati saya,
tentang keinginan ini-itu, ini-itu, yang memaksa untuk diwujudkan. Seandainya
saya bisa lebih peka dan mau sedikit bekerja keras untuk menjadikannya lebih
sinkron dan seirama, barangkali saya bisa mencatatnya sebagai gambaran-gambaran
keberhasilan, atau semacamnya. Tapi sepertinya saya bukan orang yang seperti
itu. Menuliskannya, lalu menempelkannya di samping kaca, sehingga saya bisa
membacanya setiap pagi, yang ada saya bisa panik setiap hari. Tapi mungkin,
bisa jadi. Atau malah listnya akan menjadi sangat panjang sekali. Seperti
misal, seperti yang pernah saya coba buat, dan lalu menjadi daftar belanjaan
bulanan. Ya, saya impulsif, saya tahu, dan kadang ini menjadi sedikit buruk,
dan saya harus memperbaikinya. Lalu, dengan bodohnya, saya menyadari, saya tak
pernah punya bayangan apapun yang lebih detail tentang saya di usia saya
sekarang. Pun di usia mendatang.
Barangkali hal inilah yang pada
akhirnya membawa saya berada di sini. Siang itu, saya tiduran super santai
membaca Oliver Twist. Hampir menuju tidur siang super nyenyak, ketika
dibangunkan Umak karena Hanief, Pak Ep, dan Dian datang. Hanief membawa
seamplop besar ucapan selamat dari murid-muridnya. Lalu kami pergi ke dusun,
melewati jalanan licin membeli mie ayam yang sangat enak di kompleks
transmigrasi. Saya mau nambah satu mangkuk lagi, tapi sayang sudah habis. Lalu
menuju rumah pengawas dari UPTD, kepala sekolah, dan beremu pemuda-pemuda desa
untuk membicarakan prihal forum pemuda kecamatan.... dan semacamnya, yang saya
tinggalkan karena sudah terlalu malam. Di sini, tak pantas seorang gadis
berkumpul dengan pemuda hingga larut malam. Besoknya, karena sedikit meleng dan
teringat seorang kawan sepulang dari mencari sinyal untuk mengirim foto ucapan
untuk seorang teman lain yang akan menikah, saya terpleset dari motor dan jatuh
di bebatuan. Sudah urut dua kali dan badan masih tak karuan. Saya sedang
berniat untuk membenci orang yang saya ingat itu.
Adakah hal ini pernah saya pikirkan
sebelumnya? Ketika 24 nanti, saya akan jatuh di atas bebatuan dan sendirian. Tentu
tidak.
Saya akan mencoba membayangkan
tentang saya di usia 25 nanti. Meski saya belum tahu apa. Dari sekian doa, doa
tentang selalu sehat yang sepertinya akan saya amini paling keras. Selain itu,
masih saya amini juga, meski tidak terlalu. Atau mungkin, saya jadi teringat,
saya melempar satu doa untuk bisa bertemu dengan seorang kawan untuk sekedar
berterimakasih, dan mungkin sedikit bercerita. Entahlah.
Saya tahu benar, saya sangat
tidak tahu pasti tentang hal-hal yang saya ingini. Saya hanya tahu tentang
hal-hal yang tidak saya ingini.
Barangkali karena saya tahu, saya
akan mendapat banyak kecewa ketika saya menyimpan terlalu banyak tumpukan
harapan. Meski tetap saja, harapan datang seperti matahari pagi. Hampir pasti.
Dan memang pasti. Bersiap kecewa,
bersedih tanpa kata-kata. Sering saya melupakannya begitu saja dan
menggantinya sedemikian rupa. Meski saya tahu apa yang tidak saya inginkan...
Saya tidak ingin membenci orang.
Saya tidak ingin terlalu banyak merepotkan orang. Saya tidak ingin membuat
orang sedih karena saya... Dan tentu saja, saya tidak ingin jatuh di atas batu
lagi dan tersadar ternyata saya sendirian.
Sungguh. Kesadaran seperti ini menjadi
sangat menyebalkan. Let that be the
greatest worries.
---
5 Desember 2014