“Gambar-gambar
ini perlu,” ucap Laila. Mengenakan kebaya kutubaru dengan corak bunga-bunga
besar, Laila, seorang pelacur yang tinggal di semacam rumah bordil itu
sumringah perlahan-lahan menggunting lembaran iklan dari halaman majalah. Sesekali
dia menyanyikan satu lagu yang diulang-ulangnya terus menerus padahal matanya
lekat memandangi guntingan-guntingan iklan. Dan, tentu saja, Laila juga punya
lembaran-lembaran rapi serupa selain potongan gambar yang dipasang tak
beraturan di dinding rumah itu.
***
Kalimat
di pertengahan film Lewat Djam Malam (1954) karya Usmar Ismail itu bagi saya
sangat menarik. Paling menarik bahkan. Setidaknya dari sekitar tigapuluh menit
awal yang saya lewatkan karena datang terlambat ke bioskop padahal saya sudah
dibelikan tiket. Tapi, tenang saja, saya sudah membaca sinopsis film yang
disebut-sebut sebagai film terbaik Indonesia sepanjang masa oleh banyak
kritikus. Hingga akhirnya saya beruntung menonton pun karena film ini diputar
pada ajang bergengsi Festival Film Cannes ke-65 dalam program Cannes Classics
pada Juni lalu. Jika tidak diputar di sana, saya kurang yakin apa jaringan
bioskop yang sama dengan angka umur saya sekarang itu mau memutar di salah satu
studionya dan masyarakat awam seperti saya akhirnya dapat menikmati film yang,
baiklah, memang bagus.
Cerita
bagaimana karya bapak perfilman nasional ini hingga ke Cannes sendiri merupakan
perjalanan panjang. Dalam buku Lewat Djam Malam Diselamatkan dijelaskan bahwa
hasil resotrasi ini merupakan kerja bersama para pecinta film yang tergabung
dalam Kineforum DKJ, Yayasan Konfiden, Sinematek Indonesia, keluarga Usmar
Ismail, National Museum of Singapore, World Cinema Foundation, dan tentu saja L’Immagine
Ritrovata.
Tentu
saja, ini adalah film dengan kritik yang (bagi saya) harus terlebih dahulu
mencoba memahami konteks sosial kala itu. Karena pada awalnya saya tentu saja
tidak tahu bahwa di era itu (awal dekade 50-an) sempat diberlakukan jam malam
dengan puluhan polisi patroli berkeliling. Selanjutnya adalah proses (mencoba)
mengerti. Konflik batin Iskandar, seorang mantan pejuang yang tak lagi berjuang
dan kembali ke kehidupan masyarakat. Perang telah usai, negara telah merdeka. Tapi
tidak dengan apa yang dirasakannya. Saya diajak Iskandar untuk melihat bahwa meski
telah merdeka dari penjajah (Belanda, Jepang, dsb) itu, kita kembali bertemu
dengan penjajah lainnya. Teman kita sendiri. Sebagian dari mereka yang tadinya
bergelora mengusir penjajah atas nama kemerdekaan dan rakyat pada akhirnya
hanya memerdekakan dirinya sendiri.
Sedikit
politis? Memang. Agak sama dengan para pejuang “kemerdekaan” dan “atas nama
rakyat” yang kemudian pada suatu hari mereka malah semena-mena dan mementingkan
diri dan kelompok mereka sendiri seperti yang kita lihat setiap hari di
televisi atau koran pagi? Masih relevan. Saya menangkap pesan kritis itu.
Seperti yang beberapa kritikus sampaikan di sini.
***
Kembali
ke “Gambar-gambar ini perlu.”
Laila,
janda yang ditinggalkan suaminya itu ceritanya tengah bersiap. Dulu, ketika
mantan suaminya menanyakan apa yang Laila inginkan, ia tak punya jawaban. Dan kini,
ia menyiapkan segala gambar itu untuk memberi jawaban jikalah suatu hari nanti akan
ada pria menanyakan apa yang ia inginkan, Laila akan menunjukan gambar-gambar
itu. Benda-benda dalam gambar yang Laila saja tak tahu namanya. Sepatu, gaun
terusan, dan bahkan sendok-garpu. Ia dianggap sinting karena fantasi tentang
kehidupan indah ala gambar-gambar pada klipingnya.
Tapi
Laila punya alasan, “Gambar-gambar ini perlu.” Bagi Laila, itulah gambar yang
ingin ia tuju bersama pria pujaannya nanti, nanti entah kapan.
Kemudian
pada satu scene, Laila dipertemukan dengan sosok Norma, perempuan kelas
menengah atas dengan gambaran seperti yang ia bayangkan sebelumnya. Norma mengenakan
gaun indah, dan, bersepatu. Saya sangat suka ekspresi Laila pada adegan itu. Adakah
benar barang-barang dalam gambar-gambar yang kemudian kita kenal sebagai iklan
itu sebenarnya perlu? Saya akhirnya bertanya.
Mungkin
saja Usmar Ismail dan Asrul Sani sebagai penulis naskah ingin berkisah tentang
perbedaan kelas. Tapi saya menangkap tentang iklan itu sendiri. Apakah perlu? Lalu
saya menjawabnya sendiri sambil menikmati duduk diantara toko-toko yang
menyajikan berbagai produk yang pernah saya lihat iklannya di berbagai majalah,
televisi, dan billboard. Perlu.
Perlu
tanpa harus memaksa. Seperti kata Iskandar membela Laila, bahwa ada baiknya
kita memiliki fantasi, kita memiliki harapan, dan memiliki tujuan. Kenapa perlu
tanpa harus memaksa, karena ketika kita memaksakan diri itulah kita tak lagi
menjadi diri kita. Perlu karena pada akhirnya, kita memang menyadari bahwa kita
membutuhkannya.
Sayangnya,
kita seringkali hanya tak berdaya di antara gambar-gambar itu. Bertindak
gegabah.
Padahal,
di akhir film Lewat Djam Malam sendiri digambarkan Iskandar pada akhirnya hanya
menjadi yang terkalahkan karena langkah gegabahnya. Tertembak mati oleh polisi patroli
jam malam sebelum sempat melakukan langkah berarti kecuali melampiaskan marah
dan dendamnya daripada mengusahakan harapan dan tujuannya sejak semula.
Dan
baiklah. Saya beruntung sempat menyaksikan film ini. Dan bertemu dengan Laila.
*foto dari buku Lewat Djam Malam Diselamatkan